MAdBB-20


MATA AIR DI BAYANGAN BUKIT

JILID 20

kembali | lanjut

cover madbb-20DALAM pada itu, maka Laksita itu pun kemudian dengan wajah yang buas menggeram, “He, perempuan celaka. Kenapa kau berada disini? Nasibmu memang kurang baik. Tetapi jika kau menunjukkan dimana tempat tinggal Daruwerdi selama ia berada di Lumban, maka aku akan membuat beberapa pertimbangan”

Ibu Daruwerdi yang gemetar itu tidak segera menjawab. Sementara Laksita itu pun kemudian membentak, “Cepat katakan. Atau tunjukkan. Ia tentu tidak tinggal di banjar ini”

Ibu Daruwerdi itu bagaikan terbungkam. Apalagi ketika ia melihat Laksita melangkah naik tangga pendapa. Dengan garangnya ia menggeram, “Kau harus mengenal aku. Aku tidak mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain kecuali memaksa seseorang untuk melakukan perintahku. Tunjukkan, dimana tempat tinggal Daruwerdi”

Perempuan itu benar-benar telah menggigil. Sementara itu, anak-anak muda yang berada di halaman banjar itu tidak sampai hati membiarkan ibu Daruwerdi itu mengalami bencana. Karena itu, betapapun juga mereka merasa betapa kecilnya diri mereka dihadapan orang itu, namun anak muda yang tertua diantara mereka telah memberanikan diri berkata, “Ki Sanak. Jangan kau sentuh perempuan itu. Jika kau ingin mengetahui tempat tinggal Daruwerdi, marilah. Aku akan mengantarkanmu”

Laksita memandang anak muda itu sejenak. Namun kemudian ia pun tertawa. Suaranya bagaikan suara iblis yang menguak gelapnya tanah pekuburan.

“Terlambat anak muda. Aku sudah menemukan orang yang tepat untuk menunjukkan tempat itu. Aku tahu, karena kekalutan ini ia mengungsi di banjar ini. Tetapi ia tentu tahu dimana Daruwerdi menyembunyikan pusaka yang sebenarnya, Bukan yang palsu seperti yang diberikannya kepada orang-orang Sanggar Gading.”

Ibu Daruwerdi menjadi semakin menggigil. Namun sementara itu, dua orang anak muda bergeser mendekat. Seorang diantara mereka berkata, “Kami akan mencegah meskipun kami tahu akibat yang dapat terjadi atas kami”

“Anak gila. Apa yang akan kau lakukan?” bentak orang itu.

Namun justru dua orang lagi telah mendekat. Bahkan kemudian diikuti oleh tiga orang yang lain.

“O, anak-anak yang tidak tahu diri. Aku peringatkan sekali lagi. Sampai saat ini aku masih belum membunuh. Tetapi jika kalian berlaku bodoh dan gila, aku benar-benar akan membunuh” Orang itu hampir berteriak.

Tetapi anak muda yang tertua itu menjawab, “Ki Sanak. Tidak seorang pun yang ingin mati. Aku pun tidak. Tetapi aku tidak dapat melihat kau berbuat semena-mena. Perempuan yang memang ibu Daruwerdi itu tidak akan mengerti apa yang dilakukan oleh anaknya. Ia tidak tinggal di Lumban. Ia datang pada hari-hari terakhir dari peristiwa yang telah mengguncang Kabuyutan ini. Meskipun kabuyutan kami kering, tandus dan miskin, tetapi kami merasa damai sebelumnya. Dan sekarang kedamaian itu sudah rusak karena orang-orang yang tamak seperti orang-orang Sanggar Gading, Kendali Putih dan orang-orang lain yang senafas dengan mereka”

“Diam” orang itu berteriak, “Aku tidak peduli. Tetapi selangkah lagi kau mendekat, kematianmu menjadi semakin cepat. Apakah kau kira jika aku sudah membunuh semua anak-anak muda ini, aku tidak akan dapat memaksa perempuan itu untuk menunjukkan rumah anak laki-lakinya”

“Lakukan setelah kami tidak melihat apa yang terjadi” jawab anak muda itu.

“Gila. Kau memang gila” teriak Laksita. Lalu, “Jika memang demikian, apaboleh buat”

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja perhatian mereka tertarik oleh suara seorang perempuan. Perempuan yang berada di sebelah ibu Daruwerdi, “Lepaskan orang itu. Ia akan benar-benar membunuh”

Anak-anak muda terkejut, Laksita pun terkejut.

Sementara itu, seorang gadis yang semula duduk di sebelah ibu Daruwerdi itu pun membenahi dirinya. Sambil melangkah maju ia berkata, “Biarkan saja apa yang akan dilakukan”

Anak-anak muda itu pun termangu-mangu. Tetapi mereka sudah mendengar bahwa gadis yang bernama Swasti itu telah ikut pula bertempur melawan orang-orang Sanggar Gading dan Kendali Putih. Apalagi mereka pun melihat, ketika Swasti kemudian berdiri, di lambungnya ternyata tergantung sehelai pedang.

“He, siapa kau?” bertanya Laksita.

“Siapapun aku, tetapi aku harus mencegah tingkah lakumu. Anak-anak muda itu mungkin dapat kau abaikan dan bahkan mungkin kau benar-benar dapat membunuh mereka semuanya” jawab Swasti, “Tetapi disini ada aku. Karena itu, maka aku adalah orang pertama yang akan melawanmu”

“Persetan. Kau berani berhadapan dengan orang Pusparuri?” geram Laksita.

Swasti merenung sejenak. Tiba-tiba saja ia teringat, bahwa ia pernah berhadapan dengan dua orang yang mengaku orang-orang Pusparuri. Kini ia berhadapan lagi dengan orang Pusparuri. Namun agaknya orang ini nampak lebih meyakinkan.

Meskipun demikian Swasti sama sekali tidak gentar. Karena itu maka katanya, “Kita akan melihat, apakah aku berhasil mengalahkan orang-orang Pusparuri atau tidak. Tetapi seandainya aku tidak mampu melawanmu seorang diri, disini ada beberapa orang anak muda yang akan dapat membantuku.

Laksita menggeram. Ia benar-benar merasa terhina, bahwa seorang gadis telah bertekad untuk melawannya meskipun gadis itu bersenjata. Karena itu dengan garang ia berkata, “Anak gila, kau lihat, tidak seorang pun diantara anak-anak muda ini yang berani bertingkah seperti yang kau lakukan”

“Aku memang lain dari mereka” berkata Swasti, “Sebenarnya aku tidak akan berbuat apa-apa jika kau tidak berniat untuk mengganggu ibu Daruwerdi. Sebenarnyalah bahwa ia memang tidak mengerti apa-apa tentang anaknya dan apa yang dilakukannya. Jika kau mengurungkan niatmu untuk mengganggunya, maka aku pun tidak akan-berbuat apa-apa”

“Kau menjadi semakin sombong anak manis. Aku akan berbuat seperti yang dikehendaki. Jangan halangi aku” Orang itu hampir berteriak.

Tetapi Swasti tidak bergeser sama sekali. Bahkan ia kemudian berkata, “Sebaiknya aku memaksamu untuk pergi atau menangkapmu sama sekali”

Wajah orang itu menjadi merah padam. Sementara anak-anak muda di banjar itu pun menjadi semakin berdebar-debar. Betapapun juga di mata mereka, Swasti adalah seorang gadis meskipun mereka pernah mendengar apa yang dilakukan gadis itu berhadapan dengan orang-orang Sanggar Gading dan Kendali Putih.

Dalam pada itu Laksita pun agaknya tidak mau terlibat dalam pembicaraan yang berkepanjangan. Karena itu, maka katanya, “Aku memperingatkanmu untuk yang terakhir kalinya. Pergi atau aku akan membunuhmu”

“Sudah aku katakan, aku akan mencegah tingkah lakumu yang sewenang-wenang” jawab Swasti.

Laksita tidak dapat menahan diri lagi. Namun sebelum ia bertindak Swasti telah mendahuluinya berkata, “Jangan bertempur disini. Kita akan mendapat tempat yang lebih lapang di halaman banjar ini. Biarlah anak-anak muda Lumban menyaksikan, apakah yang dapat kau lakukan. Seperti yang aku katakan, jika aku tidak mampu melawanmu, biarlah anak-anak muda itu membantuku. Kau tidak akan dapat melawan musuh yang jauh lebih banyak jumlahnya, meskipun kemampuannya dapat kau abaikan”

Laksita menggeram. Namun, Swasti tiba-tiba saja melangkah maju, sehingga Laksita pun kemudian meloncat turun kehalaman sambil mengumpat, “Anak iblis. Kau sangka permainanmu itu berhasil menggetarkan jantungku”

Swasti memandang wajah Laksita sesaat Wajah itu nampak garang, meskipun tidak sekotor wajah orang-orang yang parah di hadapinya. .

Tetapi Swasti tidak sempat menilai lebih lama lagi. Laksita yang ingin cepat menyelesaikan pekerjaannya itu tiba-tiba telah menggenggam senjata di tangannya. Katanya, “Aku akan membunuhmu, meskipun kau seorang gadis. Kemudian aku akan membunuh semua orang yang mencoba menghalangi aku”

Swasti pun segera mempersiapkan diri. Ia tidak mau kehilangan kesempatan pertama. Karena itu, ketika ia melihat lawannya bersenjata, maka ia pun telah menggenggam pedangnya.

Dalam pada itu, ibu Daruwerdi benar-benar menggigil ketakutan. Ada niatnya untuk mencegah Swasti. Tetapi tubuhnya rasa-rasanya telah membeku.

Tetapi ketika ia melihat dari tempatnya, Swasti dan orang yang datang itu sudah saling menggerakkan senjatanya, tiba-tiba saja seolah-olah tumbuh kekuatan yang tidak dimengertinya di dalam dirinya. Tiba-tiba saja ia telah bangkit dan berlari kearah gadis yang sudah siap untuk bertempur itu.

“Swasti, Ngger, Swasti” panggilnya, “Cukup. Jangan kau lakukan. Biarlah aku menurut apa yang dikehendakinya”

“Jangan mendekat” teriak Swasti. Untunglah anak-anak muda Lumban berhasil mencegahnya.

“Jangan mendekat bibi” berkata Swasti kemudian, “Orang itu terlalu licik, Ia akan dapat mempergunakan bibi sebagai perisai untuk memaksakan kehendaknya. Biarlah aku mencoba menyelesaikan masalah ini. Sementara aku persilahkan bibi menunggu”

“Kau akan melihat kepala gadis ini terpenggal” geram Laksita.

“Jangan” minta ibu Daruwerdi

“Aku tidak peduli” jawab Laksita.

Sebelum ibu Daruwerdi itu berkata, Swasti telah mendahului, “Kita akan melihat, apa yang akan terjadi”

Anak-anak muda Lumban itu pun kemudian membimbing perempuan itu menepi. Dipersilahkan ibu Daruwerdi itu duduk di tangga pendapa banjar Kabuyutan Lumban.

Sejenak kemudian Laksita yang telah kehabisan kesabaran itu, mulai menggerakkan senjatanya, sementara Swasti bergeser selangkah surut Namun ia pun kemudian mengacukan senjatanya pula. Sambil berdesis ia mulai menggerakkan ujung pedangnya.

Laksita yang garang itu mulai menyerang dengan ayunan mendatar. Namun Swasti masih belum berbuat banyak. Ia hanya bergeser selangkah surut

Tetapi Laksita agaknya telah meloncat memburunya. Tiba-tiba saja senjatanya terayun keras sekali menyambar pundak Swasti. Namun Swasti yang sudah bersiaga itu sempat memiringkan tubuhnya, sehingga serangan lawannya tidak menyentuhnya.

Dalam pada itu, Swasti tidak membiarkan dirinya hanya menjadi sasaran serangan lawannya. Sejenak kemudian maka ia pun mulai memutar pedangnya. Meskipun ia masih berusaha menjajagi kemampuan lawannya namun ia telah mulai menjulurkan pedangnya untuk menyerang.

Sejenak kemudian pertempuran itu pun menjadi semakin seru. Laksita yang marah tidak lagi mengekang diri. Serangan-serangannya datang beruntun. Namun Swasti selalu berhasil mengelakkannya..

Meskipun demikian, ternyata bahwa kemudian Swasti tidak selalu sempat mengelak. Karena itu, maka pada suatu saat, ia harus menangkis serangan lawannya yang datang membadai.

Tetapi Swasti masih selalu berhati-hati. Ia tidak ingin langsung membenturkan senjatanya menangkis serangan lawannya yang belum diketahui dengan pasti kekuatannya.

Dalam pada itu, anak-anak muda Lumban yang menyaksikan pertempuran itu menjadi semakin berdebar-debar. Mereka melihat bahwa Laksita semakin lama menjadi semakin keras dan kasar. Namun mereka pun melihat Swasti semakin lama menjadi semakin cepat bergerak. Kakinya seolah-olah menjadi semakin ringan, sementara pedangnya berputaran seperti baling-baling.

Meskipun demikian anak-anak muda Lumban itu menjadi cemas. Bagaimanapun juga mereka belum mendapat gambaran yang pasti tentang kemampuan Swasti. Mungkin gadis itu memang memiliki dasar-dasar ilmu kanuragan. Tetapi berhadapan dengan orang yang kasar itu, apakah ia akan mungkin dapat mengimbanginya.

Karena itu, maka anak-anak muda itu pun selalu bersiaga di seputar arena. Meskipun mereka menyadari, bahwa diri mereka masing-masing sama sekali tidak berarti dibanding dengan orang-yang garang itu, tetapi mereka tidak akan dapat membiarkan bencana akan terjadi pada gadis itu tanpa pembelaan sama sekali. Apalagi kesulitan dan kegagalan gadis itu akan berarti kesulitan yang gawat pula bagi ibu Daruwerdi.

Namun ternyata bahwa Swasti memiliki kemampuan yang mengagumkan. Di mata anak-anak muda Lumban yang sulit untuk mengikuti pertempuran itu, Swasti masih tetap mampu bertahan. Bahwa kadang-kadang ia berhasil mendesak lawannya, sehingga laki-laki yang kasar itu harus berloncatan surut beberapa langkah.

Sebenarnyalah Swasti masih mampu mengimbangi lawannya yang bertempur semakin kasar. Ketika Laksita menyadari, bahwa gadis itu memang seorang gadis yang memiliki ilmu yang mampu melawannya, maka oleh dorongan kemarahannya yang memuncak. Laksita telah mengerahkan segenap, kemampuannya.

Pertempuran itu kemudian semakin menjadi sengit. Keduanya ternyata memiliki bekal yang cukup, sehingga keduanya harus bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya dan berhati-hati.

Namun ternyata Laksita yang marah serta kegagalan orang-orang Pusparuri di kaki bukit gundul, membuatnya kehilangan pertimbangan yang mapan. Gejolak perasaannya lebih menguasai dirinya daripada nalarnya. Karena itulah, maka yang nampak pada tata geraknya adalah kekasaran dan keliarannya yang menjadi semakin jelas. Tetapi justru karena itu, maka ia menjadi kurang berhati-hati. Laksita tidak sempat mengamati tata geraknya sendiri.

Swasti yang kadang-kadang cepat juga terpengaruh oleh perasaannya itu, ternyata masih mampu mengurai keadaan. Ia masih sempat melihat, apa yang dilakukan oleh lawannya dan apa yang dialami pada getaran perasaannya. Justru karena itu, maka ia pun kemudian mempergunakan keadaan lawannya untuk mengatasinya.

Dengan tangkasnya Swasti memancing kekasaran lawannya. Dengan demikian Swasti mengharap, bahwa lawannya akan menjadi kehabisan tenaga lebih dahulu. Sehingga dengan demikian, maka ia akan lebih mudah mengakhiri pertempuran itu.

Namun ternyata bahwa Laksita adalah seorang yang memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa.

Dengan demikian, meskipun Swasti berhasil memancing lawannya untuk mengerahkan segenap kemampuannya dan memaksanya untuk berloncatan dengan langkah-langkah panjang, namun ternyata bahwa Laksita seolah-olah tidak menjadi semakin letih. Ia masih saja mampu bergerak sebagaimana saat mereka mulai dengan pertempuran itu.

Karena itu, maka Swasti pun harus mengambil cara lain. Jika ia memaksakan cara itu, maka ia akan menjadi letih lebih dahulu dari lawannya.

Dengan hati-hati Swasti menilai lawannya lebih tajam lagi. Sehingga akhirnya ia telah mengambil satu keputusan untuk bertempur dengan keras sesuai dengan sifat lawannya. Namun sebagaimana selalu dipesankan oleh ayahnya, bahwa dalam pertempuran yang gawat, ia tidak boleh kehilangan akal. Ia harus mampu menguasai diri, menilai lawannya dan mengambil keputusan atas pertimbangan nalar. Bukan perasaan semata-mata.

“Lawanku telah terpancing untuk menuruti perasaan marahnya” berkata Swasti di dalam hatinya, “Aku harus dapat memanfaatkannya.”

Dengan pertimbangan yang mapan, maka kemudian Swasti pun telah bertempur semakin cepat. Ia mulai mencoba melawan orang yang garang itu dengan keras. Ia mulai membenturkan senjatanya beradu kekuatan. Namun ternyata bahwa Swasti mampu mengimbangi kekuatan lawannya.

Karena itulah, maka Swasti menjadi semakin garang. Senjatanya bergerak lebih cepat, namun benturan-benturan senjata tidak dihiraukannya lagi.

Anak-anak muda Lumban melihat pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Namun mereka melihat, Swasti menjadi semakin mapan. Kecuali karena ia mampu bergerak lebih cepat, ternyata bahwa benturan-benturan yang terjadi tidak dapat mendesaknya.

Sebenarnyalah bahwa Swasti memiliki kelebihan dari lawannya. Kakinya seolah-olah lebih ringan, sehingga dengan demikian maka ia dapat bergerak lebih cepat. Namun lawannya mampu mengimbangi dengan ketahanan tubuh yang melampaui orang kebanyakan. Seolah-olah Laksita itu sama sekali tidak menjadi letih meskipun ia harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk melawan kecepatan gerak Swasti.

Bersamaan dengan itu, di bukit gundul masih juga terjadi pertempuran yang sengit antara Pangeran Sena Wasesa dengan Kiai Pusparuri. Namun sebagaimana telah nampak pada mereka yang menyaksikan pertempuran itu, Kiai Pusparuri mempunyai kelebihan dari Pangeran Sena Wasesa. Sementara itu orang-orang yang berdiri disekitarnya sama sekali tidak mampu berbuat sesuatu. Jika salah seorang dari mereka akan memasuki arena, maka hal itu akan mencemarkan kejantanan Pangeran Sena Wasesa, meskipun kadang-kadang Rahu hampir tidak dapat menahan diri. Sebagai seorang yang mendapat tugas khusus, maka ia kurang memperhitungkan harga diri Pangeran Sena Wasesa. Ia merasa wajib untuk membantunya. Karena ternyata Pangeran Sena Wasesa mendapat kesulitan, maka rasa-rasanya ia telah siap untuk meloncat ke medan, meskipun ia sadar, diantara kedua orang raksasa itu, ia hampir tidak berarti sama sekali.

Tetapi setiap kali ia mendekat, maka Pangeran Sena Wasesa seolah-olah telah memberi isyarat agar ia menyingkir dari arena.

Rahu menjadi ragu-ragu. Namun debar jantungnya rasa-rasanya tidak lagi tertahankan. Pertempuran yang berlangsung terlalu lama itu, membuatnya tidak sabar lagi. Tetapi ia belum menemukan jalan untuk membantu mengakhirinya. Sementara itu ia mengerti, jika pertempuran itu dibiarkannya berlangsung sebagai perang tanding, maka kemungkinan Pangeran Sena Wasesa untuk memenangkan pertempuran itu sangat kecil. Hanya karena satu kesalahan dari Kiai Pusparuri sajalah akan dapat membantu Pangeran Sena Wasesa keluar hidup-hidup dari pertempuran itu.

Dalam pada itu, Kiai Kanthi dan Ki Ajar Cinde Kuning pun sedang mencari akal untuk membantu menyelesaikan pertempuran itu. Namun agaknya mereka pun tidak ingin menyinggung harga diri Pangeran Sena Wasesa.

Namun dalam pada itu, ternyata Kiai Kanthi berhasil memancing perhatian Kiai Pusparuri tanpa memasuki arena. Sikap, wajah dan pasemonnya rasa-rasanya sempat menyentuh perasaan Kiai Pusparuri. Sekali-sekali Kiai Kanthi tersenyum melihat tata gerak Kiai Pusparuri. Kemudian mengerutkan keningnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Pada kesempatan lain ia mencibir penuh kebencian. Tangannya kadang-kadang menghentak sambil mengepal. Namun kadang-kadang ia tertawa kecil tertahan-tahan.

Sikap itu ternyata sangat menjengkelkan Kiai Pusparuri. Betapa ia berusaha untuk tidak menghiraukan sikap itu, namun Kiai Kanthi seakan-akan dengan sengaja bergeser ke tempat-tempat yang berhadapan dengan arah sikap Kiai Pusparuri sehingga Pangeran Sena Wasesa sendiri tidak melihat apa yang dilakukan oleh orang itu.

Karena itulah, maka kemarahan Kiai Pusparuri yang hampir tidak terkendali itu ternyata telah terpancing oleh sikap Kiai Kanthi. Karena itu, pada kesempatan yang terbuka, disaat Pangeran Sena Wasesa terdesak beberapa langkah surut, tiba-tiba saja Kiai Pusparuri telah meloncat kearah Kiai Kanthi sambil berteriak, “Orang gila. Kau sangka sikapmu tidak menyeretmu ke dalam kesulitan”

Kiai Kanthi memang sudah menduga. Karena itu, maka dengan cepat ia meloncat menghindari serangan itu. Namun dengan demikian, Kiai Pusparuri lah yang telah menyerangnya sehingga ia akan mempunyai alasan untuk membalasnya.

Tetapi pada saat yang demikian, Pangeran Sena Wasesa lah yang berteriak, “Serahkan orang itu kepadaku Kiai”

Kiai Kanthi meloncat surut. Ia tidak ingin membuat persoalan baru sehingga ia tidak berbuat lebih banyak.

Dengan demikian maka pertempuran itu telah berlangsung seperti semula. Pangeran Sena Wasesa melawan Kiai Pusparuri. Meskipun sikap Kiai Kanthi itu telah membantu Pangeran Sena Wasesa untuk mempersiapkan diri. Tetapi sejenak kemudian, imbangan pertempuran itu terulang lagi. Pangeran Sena Wasesa seolah-olah hanya mempunyai kesempatan untuk bertahan saja.

Tetapi setiap orang di seputar arena itu melihat, bahwa kemampuan bertahan Pangeran Sena Wasesa itu pun telah menjadi semakin susut. Tekanan yang keras telah memaksa Pangeran itu bekerja terlalu berat.

Yang kemudian termenung adalah Ki Ajar Cinde Kuning. Ia melihat apa yang terjadi atas Kiai Kanthi. Hal itu ternyata telah sangat menarik perhatiannya. Bahkan, kemudian ia telah bergeser semakin dekat disebelah Kiai Kanthi.

Sesaat kemudian, ternyata Ki Ajar Cinde Kuning yang cacat itu berbisik-bisik di telinga Kiai Kanthi. Bahkan kemudian keduanya telah tersenyum sambil memandang Kiai Pusparuri,

Ternyata Ki Ajar Cinde Kuning telah menirukan sikap Kiai Kanthi. Bahkan keduanya bersama-sama telah memancing perhatian Kiai Pusparuri. Justru karena mereka berdua, maka sikap mereka menjadi semakin memanaskan hati Kiai Pusparuri yang memang sedang menyala itu.

Untuk beberapa saat Kiai Pusparuri sama sekali tidak menghiraukannya. Namun semakin lama jantungnya menjadi semakin bergejolak. Sehingga akhirnya ia tidak dapat bertahan lagi. Karena itu, maka dengan mengerahkan kemampuannya, Kiai Pusparuri telah berusaha mendesak Pangeran Sena Wasesa. Dan sebenarnyalah yang diharapkan Ki Ajar Cinde Kuning telah terjadi. Kiai Pusparuri mengulangi sikapnya terhadap Kiai Kanthi. Tetapi yang kemudian ternyata ditujukan kepada Ki Ajar Cinde Kuning.

Kiai Pusparuri tidak ingin mengulangi serangannya sampai dua kali. Karena itu, ia telah mengerahkan segenap ilmu dan kekuatan yang ada padanya. Dengan kecepatan yang hampir tidak kasat mata, dengan tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang Ki Ajar Cinde.

Serangan itu benar-benar mengejutkan. Meskipun Kiai Kanthi yang tahu maksud Ki Ajar, ia pun masih juga terkejut. Kiai Pusparuri benar-benar telah berniat untuk menghancur lumatkan Ki Ajar Cinde Kuning dengan satu serangan yang mematikan.

Namun hal itulah yang memang diharapkan oleh Ki Ajar Cinde Kuning. Serangan yang terlampau cepat itu sama sekali tidak dielakkannya. Bahkan dengan segenap kemampuan yang ada padanya, Ki Ajar Cinde Kuning telah membentur kekuatan Kiai Pusparuri. Meskipun yang nampak oleh mata orang-orang yang ada disekitar tempat itu, Ki Ajar Cinde Kuning seolah-olah tidak sempat menghindari serangan yang tiba-tiba itu.

Sesaat kemudian telah terjadi benturan yang dahsyat sekali. Kekuatan Kiai Pusparuri telah membentur kekuatan Ki Ajar Cinde Kuning. Dua kekuatan raksasa yang seakan-akan telah meledakkan langit.

Ki Ajar Cinde Kuning ternyata telah terlempar beberapa langkah. Sesaat ia berusaha untuk bertahan pada keseimbangan-nya. Namun, ia pun kemudian telah terjatuh pada lututnya. Meskipun demikian, sejenak kemudian Ki Ajar Cinde Kuning itu telah bangkit berdiri meskipun ia masih harus berjuang mempertahankan keseimbangannya, .

Namun dalam pada itu, Kiai Pusparuri telah mengalami keadaan yang tidak disangkanya. Benturan itu telah melemparkannya. Dengan kerasnya Kiai Pusparuri telah terbanting diatas batu padas.

Terdengar keluhan tertahan. Kiai Pusparuri masih menggeliat. Bahkan ia pun kemudian berusaha untuk bangkit Tetapi demikian ia berdiri tegak, maka ia pun telah terjatuh kembali.

Sebenarnyalah bahwa ilmu raksasa Kiai Pusparuri itu masih berada beberapa lapis dibawah kemampuan orang cacat yang menyebut dirinya Ki Ajar Cinde Kuning itu.

Dengan demikian, maka benturan ilmu itu telah berakibat parah bagi Kiai Pusparuri. Hentakan ilmu Ki Ajar Cinde Kuning seolah-olah telah melontarkan kembali ilmu Kiai Pusparuri itu sendiri dan menghantam bagian dalam tubuhnya, didorong pula oleh kekuatan ilmu Ki Ajar yang memiliki kekuatan tiada taranya. Itulah sebabnya, maka isi dada Kiai Pusparuri rasa-rasanya telah rontok luluh menjadi debu.

Tidak ada obat yang dapat menyelamatkannya. Ketika tabib yang semula berada diantara orang-orang Sanggar Gading itu mendekatinya dan meraba tangannya, kemudian menempelkan telinganya didadanya, maka ia pun kemudian menggeleng lemah sambil berdesis, “Kiai Pusparuri sudah tidak mungkin lagi dapat diselamatkan. Nafasnya sudah tertahan tahan”

Pangeran Sena Wasesa memandang Ki Ajar Cinde Kuning sesaat Kemudian ia berdesis, “Terima kasih atas belas kasihan Ki Ajar”

“Aku mohon maaf Pangeran” sahut Ki Ajar Cinde Kuning, “Aku tidak ingin mencampuri persoalan Pangeran dengan Kiai Pusparuri Tetapi Kiai Pusparuri telah menyerangku, sehingga aku terpaksa melindungi diriku dengan ilmu yang ada padaku”

“Aku bukan kanak-kanak, Ki Ajar” jawab Pangeran Sena Wasesa, “Aku tahu apa yang kalian lakukan. Tetapi dalam kesulitan menghadapi tekanan Kiai Pusparuri aku tidak sempat mencegah kalian”

Ki Ajar Cinde Kuning tidak menjawab lagi. Sejenak ia termangu-mangu memandang tubuh Kiai Pusparuri yang terbujur diam. Bahkan kemudian tabib itu berkata, “Ia sudah tidak ada lagi”

Ki Ajar Cinde Kuning menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian berkata, “Aku juga harus mengobati diriku sendiri Benturan ini telah menyesakkan dadaku. Ternyata Kiai Pusparuri mempunyai kemampuan yang mengagumkan”

Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kenyataan itu sudah terjadi. Kiai Pusparuri sudah terbaring diam tidak bernafas lagi.

Namun dalam pada itu, orang-orang yang ada di kakí bukit gundul itu terkejut ketika tiba-tiba saja Jlitheng berkata lantang, “Ki Ajar. Lihat, apa yang terjadi dengan Ki Ajar Pamotan Galih”

Ki Ajar Cinde Kuning menjadi tegang. Namun kemudian ia pun segera berlari-lari ke tempat saudara kembarnya, diikuti oleh orang-orang yang semula mengerumuni perang tanding yang mendebarkan itu.

Ki Ajar Cinde Kuning menemukan saudara kembarnya duduk bersandar sebongkah batu padas. Wajahnya menjadi sangat pucat, sementara nafasnya terengah-engah.

“Pamotan Galih, apa yang terjadi?” bertanya Cinde Kuning.

Ki Ajar Pamotan Galih membuka matanya. Dengan sendat ia berusaha untuk berkata, “Aku minta diri. Nampaknya kau sudah berhasil mengatasi semua persoalan”

Wajah orang-orang yang mengerumuninya menjadi tegang. Ki Ajar Cinde Kuning yang kemudian berjongkok disampingnya bertanya, “Apa yang sudah kau lakukan?”

“Jangan sesali kepergianku” jawab Ki Ajar Pamotan Galih, “agaknya memang tidak ada tempat lagi bagiku diantara orang-orang yang beradab. Karena itu, maka biarlah aku kembali ke asalku”

“Tetapi jangan dengan cara itu” Ki Ajar Cinde Kuning hampir berteriak.

Sementara itu tabib yang sudah berjongkok pula disebelah. Ki Ajar Pamotan Galih yang menjadi semakin pucat itu pun menjadi tegang. Apalagi ketika ia mulai melihat noda-noda biru di tubuh Ki Ajar Pamotan Galih.

“Racun yang kuat” desisnya.

Ki Ajar Cinde Kuning menarik nafas dalam-dalam. Baru kemudian ia melihat disebelah Ki Ajar Pamotan Galih tergolek sebilah keris kecil yang sudah tidak berada di dalam wrangkanya. Sementara itu. ternyata di pergelangan tangan Ki Ajar Pamotan Galih pun terdapat sebuah goresan kecil yang tidak menitikkan darah. Ternyata Ki Ajar Pamotan Galih telah membunuh dirinya sendiri dengan pusakanya yang mempunyai warangan yang sangat tajam.

Tabib itu pun tidak dapat menolongnya. Namun pada saat terakhir Ki Ajar Pamotan Galih itu sempat tersenyum dan berkata patah-patah, “Di mana Daruwerdi?”

Daruwerdi yang kemudian menyibak maju telah berjongkok pula disisinya, “Aku disini”

Ki Ajar Pamotan Galih yang menjadi semakin parah itu masih bertahan. Katanya kemudian, “Aku minta maaf kepadamu, ngger. Juga kepada ibumu. Tetapi segalanya itu sudah lampau. Kakekmu, Ki Ajar Cinde Kuning akan menjelaskan, siapakah sebenarnya kau, ibumu dan sumber keterangan tentang pusaka itu”

Daruwerdi menjadi tegang. Bagaimanapun juga, ia sudah menganggap orang itu sebagai gurunya, kakeknya dan saudaranya pada saat-saat terakhir, meskipun orang itu membingungkannya.

“Kau bersedia?” bertanya Ki Ajar Pamotan Galih semakin sendat.

“Ya kakek” sahut Daruwerdi.

Sekali lagi nampak senyum di bibir Ki Ajar Pamotan Galih. Namun kemudian terdengar keluhan tertahan. Sejenak kemudian. Ki Ajar itu memejamkan matanya dan melepaskan tarikan nafasnya yang terakhir.

Tabib yang berjongkok disisinya itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Ajar Pamotan Galih telah pergi masih dalam keadaannya. Duduk bersandar sebongkah batu padas.

Dengan hati-hati tubuh itu pun kemudian dibaringkannya. Tangannya masih tetap bersilang didadanya. Sedangkan senyumnya masih nampak menghias bibirnya.

Wajah Daruwerdi lah yang kemudian menjadi gelap. Peristiwa yang terjadi itu merupakan pengalaman yang sangat berat baginya. Yang tidak diduga sama sekali telah terjadi. Alangkah pahitnya penyelesaian yang dihadapi oleh Ki Ajar Pamotan Galih, meskipun itu yang telah dipilihnya sendiri.

Dalam pada itu, selagi orang-orang di bukit gundul itu merenungi tubuh Ki Ajar Pamotan Galih yang tergolek diam dengan senyum di bibirnya, di halaman Banjar Kabuyutan Lumban, Swasti masih bertempur melawan Laksita. Namun agaknya Swasti sudah sampai pada keputusan untuk mengakhiri pertempuran itu.

Dengan kecepatan geraknya, maka Swasti mempunyai kemungkinan lebih baik dari lawannya. Meskipun lawannya seolah-olah tidak mengenal letih meskipun ia harus mengarahkan segenap tenaganya untuk mengimbangi kecepatan gerak Swasti, namun Swasti telah memilih jalan yang paling baik.

Dalam pertempuran berikutnya, Swasti telah mengimbangi kegarangan lawannya. Bahkan dengan memanfaatkan kecepatannya, maka senjata Swasti mulai menyusup diantara pertahanan Laksita.

Ketika segores kecil luka mengoyak kulit Laksita, maka orang itu mengumpat-umpat dengan kasarnya. Namun justru karena itu, maka Swasti telah mendapat kesempatan untuk melukainya sekali lagi.

Laksita meloncat surut beberapa langkah. Dengan tangan kirinya ia meraba lukanya. Wajahnya menjadi merah semerah darahnya ketika ia merasa bahwa telapak tangannya menjadi hangat oleh darahnya yang mengalir dari luka itu.

“Kau tidak mempunyai pilihan” berkata. Swasti, “menyerahlah. Kau akan mendapat perlakuan yang-baik”

Tetapi jawaban Laksita adalah serangan yang membadai. Senjatanya terayun-ayun mengerikan. Diantara desis serangannya terdengar umpatan-umpatan kasarnya.

Swasti mengerutkan keningnya. Ia sudah berhasil melukai lawannya. Darah telah mengalir dari luka itu. Tetapi luka itu sama sekali tidak berpengaruh atas lawannya yang garang itu.

Karena itu, maka Swasti pun bergerak semakin cepat. Ketika Laksita meloncat menyerangnya, dengan ayunan senjatanya yang seolah-olah telah melontarkan hembusan angin yang kencang. Swasti sempat mengelak. Namun demikian ia bergeser, maka tiba-tiba saja ia meloncat dengan pedang terjulur.

Sekali lagi terdengar Laksita berteriak liar. Lambungnya ternyata tersentuh oleh ujung senjata Swasti.

“Anak iblis” teriak Laksita, “Kau berani melukai aku he?”

Swasti tidak menyahut. Namun ketika ia memandang wajah lawannya diluar sadarnya, tiba-tiba saja terasa kengerian menyentuh perasaannya. Wajah itu bagaikan wajah hantu yang sedang marah. Sorot matanya bagaikan berpijar kemerah-merahan.

Swasti bergeser surut.

Tetapi Laksita bagaikan orang yang kehilangan nalarnya. Ia lah yang meloncat memburu lawannya sambil memutar senjatanya. Luka di tubuhnya seolah-olah tidak terasa sama sekali.

Anak-anak muda yang memutari arena itu pun menjadi berdebar-debar. Mereka seolah-olah melihat sesosok hantu yang sedang mengamuk. Pakaiannya yang merah dan luka-luka yang tergores di kulitnya, membuat orang itu menjadi semakin mengerikan.

Swasti yang bertempur melawan orang itu pun nampaknya mulai terpengaruh oleh sikap dan tingkah laku lawannya. Kerut merut di wajah Swasti menunjukkan, bahwa ketegangan menjadi semakin memuncak didadanya menghadapi lawannya yang bagaikan menjadi gila. Justru ketika ia sudah berhasil melukai lawannya, maka ia mulai merasa semakin terdesak.

Gadis itu mencoba untuk menguasai perasaannya. Ia mencoba untuk mempergunakan nalarnya.

“Aku akan memenangkan pertempuran ini jika aku tetap menyadari apa yang terjadi sebenarnya. Mudah-mudahan Yang Maha Kuasa melindungi aku” Swasti yang ragu-ragu berusaha untuk mendapatkan sandaran perasaan.

Namun lawannya benar-benar bagaikan sesosok hantu yang gila. Ia sama sekali tidak menghiraukan, bahwa darah seolah-olah telah memerah di seluruh tubuhnya. Luka-lukanya di pundak, di lengan, di lambung dan di bagian tubuh lainnya, dan yang telah mengalirkan darah seolah-olah sama sekali tidak berarti.

Swasti yang melihat darah yang mengalir semakin banyak itu masih sempat berkata kepada diri sendiri, “Jika aku biarkan ia bergerak lebih banyak lagi, maka darahnya akan semakin deras terperas dari dalam tubuhnya. Ia akan segera menjadi lemah dan kehilangan kemampuan untuk melawan”

Karena itu, Swasti mencoba memancing lawannya bergerak semakin cepat, agar darahnya menjadi semakin terperas.

Namun semakin lama justru kengerian di hati Swasti menjadi semakin menekan. Laksita yang sudah menjadi merah oleh darahnya sendiri itu, masih mampu bertempur dengan garangnya. Tidak ada tanda-tanda sama sekali bawah tenaganya telah menjadi susut

“Gila. Benar-benar Gila” desis Swasti sambil berloncatan surut.

Laksita lah yang kemudian justru mendesak Swasti. Dengan garang ia menyerang. Tetapi dengan jantung yang bergejolak, Swasti masih sempat melihat celah-celah putaran senjata lawannya. Dengan kulit yang meremang, Swasti merendah sambil menjulurkan ujung pedangnya, ketika lawannya mengayunkan senjatanya ke arah kepalanya.

Swasti memejamkan matanya ketika ia merasa ujung pedangnya menghunjam ke dada lawannya yang basah oleh keringat dan darah. Ia mendengar keluhan di mulut lawannya.

Swasti yang masih memejamkan matanya sekejap itu meloncat surut untuk menghindari kemungkinan yang buruk yang dapat terjadi atas dirinya justru karena ia tidak mau memandang apa yang telah terjadi.

Namun ketika Swasti membuka matanya, ia masih melihat lawannya tetap berdiri tegak. Matanya masih berpijar dan senjatanya masih terayun-ayun.

“Gila, apakah aku berhadapan dengan sesosok hantu” geram Swasti di dalam dirinya.

Namun kengerian yang sangat telah membuatnya menjadi gelisah. Tangannya mulai gemetar dan sikapnya justru kurang mapan.

“Menyerahlah” teriak Swasti untuk mengatasi kengeriannya.

Tetapi Laksita seolah-olah sudah tidak dapat mendengar suara lawannya. Matanya yang berpijar merah rasa-rasanya menjadi semakin menyala. Ketika orang itu melangkah maju sambil mengayun-ayunkan senjatanya, Swasti pun melangkah surut.

Sebenarnyalah orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu pun telah dicengkam oleh kengerian yang sangat. Laksita yang sudah menjadi merah oleh darahnya sendiri itu, masih juga berdiri tegak dan bahkan masih melangkah maju mendesak Swasti yang menjadi semakin ngeri.

Menilik bahwa ujung senjatanya mampu melukai tubuh lawannya, Swasti mengerti bahwa lawannya itu tidak memiliki ilmu kebal. Tetapi bahwa oleh luka-lukanya yang parah, ia seolah-olah sama sekali tidak terpengaruh, agaknya telah membuat Swasti kehilangan akal.

Swasti yang didesak surut itu telah menyibak orang-orang yang melingkari arena. Bahkan satu dua orang telah berlari-lari kecil menepi. Sementara orang yang terluka parah itu masih saja melangkah maju.

Tetapi melihat sorot matanya dan ketegangan wajahnya, yang dilakukan oleh orang itu nampaknya sudah diluar sadarnya.

Orang-orang yang melingkari pertempuran itu menjadi sangat cemas ketika mereka melihat, tiba-tiba saja Swasti tidak dapat lagi bergerak mundur. Ketika punggungnya telah melekat pada dinding halaman, maka jantungnya benar-benar terasa berdentang semakin cepat

“Berhenti disitu” teriak Swasti ketika ia melihat lawannya masih melangkah maju.

Tetapi seperti suaranya yang terdahulu, seolah-olah sudah tidak dapat didengar lagi oleh lawannya yang sudah kehilangan kediriannya.

Karena itu, maka Laksita sama sekali tidak menghentikan langkahnya. Ia masih maju sambil mengayunkan senjatanya. Bahkan ternyata ia masih menggeram, “Aku tidak dapat dikalahkan oleh perempuan”

Swasti menjadi semakin berdebar-debar. Ternyata Laksita itu seakan-akan telah menjadi gila. Ia melepaskan diri dari tangan Daruwerdi di bukit gundul. Namun tiba-tiba saja ia telah berhadapan dengan seorang perempuan yang tidak dapat dikalahkannya. Dengan demikian maka rasa-rasanya perasaannya tidak lagi dapat dikendalikannya dengan nalarnya.

Dalam pada itu, Swasti berteriak sekali lagi, “Jangan maju lagi. Lepaskan senjatamu dan menyerahlah. Kau akan mengalami perlakuan yang wajar.

Tetapi suara itu lenyap di ketegangan suasana. Orang itu masih maju lagi.

Swasti pun kemudian seakan-akan juga telah kehilangan akal oleh kengerian yang memuncak. Karena itu, maka ia pun sulit untuk mengendalikan perasaannya.

Dalam keadaan yang demikian itu, Laksita masih melangkah maju. Senjatanya terayun mengerikan meskipun orang itu sudah tidak dapat lagi mengatur arah dan apalagi mempergunakan ilmu pedangnya.

Kengerian yang memuncak telah meledakkan perasaan Swasti yang sudah melekat di dinding halaman dan tidak mungkin lagi untuk melangkah mundur. Karena itulah, maka Swasti pun telah mengambil sikap oleh dorongan perasaannya semata-mata.

Ketika senjata Laksita terayun ke arahnya, maka Swasti itu pun telah meloncat kesamping sambi memekik kecil. Namun kemudian sekali lagi Swasti memejamkan matanya sambil menjulurkan pedangnya menyusup ayunan senjatanya. Terasa pedangnya sekali lagi menghunjam ke tubuh orang itu. Namun oleh goncangan perasaannya, hampir diluar sadarnya, Swasti masih mendorong pedangnya dan menghunjamkannya lebih dalam lagi.

Tetapi ternyata bahwa pedang yang menghunjam terlalu dalam itu, tidak terlalu mudah untuk dicabut Sementara kengerian yang luar biasa telah mencengkam perasaannya, sehingga karena itu, maka Swasti pun kemudian justru melepaskan pedangnya. Ia bergeser kesamping sepanjang dinding halaman. Namun sayang, oleh ketergesa-gesaan dan kengerian yang sangat, Swasti tidak dapat meloncat dengan sempurna. Hanya oleh rumput kering dan akar perdu, terasa seolah-olah kaki Swasti telah membentur seonggok batu hitam.

Karena itu, Swasti telah terjatuh di tanah. Justru pada saat lawannya melangkah setapak maju meskipun pedang Swasti masih terhujam didadanya.

Sesaat orang itu berdiri dengan kaki renggang disebelah tubuh Swasti yang masih terbujur di tanah. Dengan mata yang berpijar kemerahan dipandanginya tubuh Swasti yang seolah-olah sudah tidak berdaya itu.

Terjadilah sesuatu yang menggetarkan seluruh halaman. Orang itu tertawa berkepanjangan. Semakin lama semakin keras. Seolah-olah ingin meruntuhkan dinding yang memutari halaman banjar itu.

“Aku bunuh kau perempuan cengeng” teriak orang itu di sela-sela tertawanya.

Swasti justru bagaikan membeku. Ia hanya dapat melihat orang itu mengangkat senjatanya. Kemudian, seolah-olah terasa sebuah bukit runtuh menimpa dirinya.

Swasti masih berteriak, ketika ia menyadari bahwa tubuh Laksita lah yang jatuh menimpanya. Namun kemudian segalanya menjadi gelap. Swasti Itu pun menjadi pingsan.

Anak-anak muda yang menyaksikan pertempuran itu pun seakan-akan telah membeku pula. Sejenak mereka diam mematung. Namun sejenak kemudian mereka pun telah datang berlari-lari mendekati kedua tubuh yang diam itu.

Dengan tergesa-gesa mereka telah mengangkat dan menyingkirkan tubuh Laksita yang arang kranjang lukanya.

Kemudian membaringkannya di pinggir halaman. Sementara dua orang diantara mereka, dengan wajah yang berpaling telah berusaha menarik pedang yang terhunjam di dada orang itu.

Anak-anak muda yang lain pun kemudian telah membawa Swasti yang pingsan ke pendapa. Ibu Daruwerdi yang melihat keadaan gadis itu pun bagaikan orang yang tersadar dari sebuah mimpi yang mengerikan. Meskipun tubuhnya masih terasa gemetar, tetapi ia pun kemudian berlari mendekati Swasti yang terbaring diam diatas sehelai tikar yang di bentangkan di pendapa.

“Swasti. Swasti” ibu Daruwerdi itu memanggilnya. Tetapi Swasti masih tetap diam.

Seorang anak muda yang berlari-lari ke sumur telah kembali sambil membawa air di dalam mangkuk. Dengan hati-hati ibu Daruwerdi menitikkan air itu ke mulut Swasti. Setitik demi setitik.

Sesaat kemudian, Swasti pun mulai bergerak. Ketika ia mulai menyadari dirinya, tiba-tiba saja ia berusaha untuk bangkit. Namun kemudian yang dilihatnya duduk di hadapannya adalah seorang perempuan.

Pandangan matanya yang kabur menjadi semakin jelas. Yang dilihatnya itu benar-benar seorang perempuan. Ibu Daruwerdi.

Tiba-tiba saja kengerian yang sangat telah bergejolak di hatinya. Hati seorang gadis yang betapapun garangnya. Karena itu, maka diluar sadarnya Swasti telah memeluk ibu Daruwerdi itu. Sambil melekatkan kepalanya di dada perempuan itu terdengar gadis itu terisak.

Ibu Daruwerdi pun kemudian membelai rambut gadis itu. Rambut yang kusut. Sementara pakaian Swasti pun telah bernoda darah lawannya yang telah dibunuhnya.

“Kau telah menyelamatkan jiwaku ngger” desis ibu Daruwerdi, “jika kau tidak ada disini, mungkin aku telah dibantai oleh iblis itu”

Swasti tidak menjawab. Ia masih saja terisak.

Namun dalam pada itu, bukan saja kengerian yang telah melanda jantung gadis itu. Tetapi pelukan seorang perempuan terasa membuat hatinya sejuk dan tenang.

Tiba-tiba saja kerinduannya kepada seorang perempuan telah mencengkamnya. Kerinduannya kepada ibunya seolah-olah telah terangkat, ketika ia merasakan pelukan seorang perempuan.

Karena itulah, maka Swasti pun kemudian tidak dapat menahan tangisnya yang semakin menyesakkan dadanya. Sambil memeluk perempuan itu erat-erat Swasti menangis tertahan-tahan. Namun betapapun ia berusaha menahan diri, namun tangisnya bagaikan tertumpah di dada perempuan itu.

Ibu Daruwerdi pun menjadi bingung. Ia telah melupakan kengerian di hatinya sendiri. Tetapi ia tidak tahu, bagaimana menenangkan gadis itu.

Namun akhirnya ia berkata, “Swasti, Sudahlah. Kau sudah menyelesaikan pertempuran itu”

Kata-kata itu telah mengingatkan Swasti kepada orang yang mengerikan itu. Tetapi rasa-rasanya ia masih ingin melepaskan kerinduannya kepada ibunya. Teringat oleh gadis yang garang itu, bagaimana ia di masa kecilnya dipeluk dan ditimang oleh ibunya. Tetapi yang kemudian segalanya itu harus dilemparkannya ke dalam alam kenangan karena ia harus hidup dalam lingkungan yang keras dan tenggelam dalam latihan-latihan oleh kanuragan.

“Swasti” berkata ibu Daruwerdi itu pula, “tenanglah. Tidak ada lagi yang menggelisahkan di halaman ini. Kau telah memenang-kan pertempuran itu”

Swasti berusaha untuk menguasai perasaannya. Perlahan-lahan ia melepaskan pelukannya. Kemudian tangisnya pun mulai mereda. Tetapi justru ia menjadi terisak dan nafasnya terasa sesak.

Dalam keadaan yang demikian, Swasti tidak dapat berbuat sebagaimana ia mengalami kesulitan setelah bertempur dengan mengerahkan segenap tenaganya, sehingga nafasnya menjadi terengah-engah. Dalam keadaan yang demikian, seharusnya ia dapat memusatkan kemampuannya untuk memperbaiki pernafasannya. Tetapi selagi nafasnya itu sesak karena tangis, maka ia tidak dapat memusatkan ilmunya yang manapun juga untuk mengatur pernafasannya itu, justru karena gejolak perasaannya yang kurang dapat terkekang.

Namun akhirnya, Swasti itu pun duduk sambil menundukkan kepalanya. Sekali-sekali isaknya masih terasa menyesak didadanya.

Anak-anak muda yang berada di banjar itu, menyaksikan tingkah laku Swasti dengan hati yang bergejolak. Mereka tidak tahu, perasaan apakah yang tergetar di hati gadis itu. Mereka menyangka bahwa peristiwa yang mengerikan itu sajalah yang telah mengguncangkan perasaan Swasti. Mereka tidak melihat, betapa sejuknya pelukan seorang ibu telah membuat Swasti semakin tenggelam ke dalam tangisnya.

Meskipun demikian, agaknya Swasti tidak mau lagi melihat tubuh orang yang telah dibunuhnya. Ia sama sekali tidak mau memandang ke halaman. Apalagi karena ia tahu, bahwa tubuh lawannya itu masih belum disingkirkan dari tempatnya

Dengan kepala tunduk Swasti itu kemudian berkata dengan nada yang masih gemetar, “Aku akan kebelakang, bibi”

“Marilah ngger” jawab ibu Daruwerdi, “Aku akan mengantarkanmu”

Kemudian Swasti itu pun berkata kepada seorang anak muda yang berada di pendapa, “Singkirkan tubuh itu. Aku tidak mau melihatnya lagi”

“Baiklah” jawab anak muda itu, “akan kami bawa tubuh itu ke serambi samping”

Sementara Swasti masuk ke ruang dalam, dan memerlukan pakaian untuk menggantikan pakaiannya yang bernoda darah, maka anak muda itu pun kemudian mengajak kawan-kawannya untuk memindahkan tubuh yang terbaring diam itu. Rasa-rasanya mereka pun menjadi sangat ngeri. Namun tubuh itu benar-benar sudah tidak dapat mengamuk lagi. Orang itu tidak dapat lagi membunuh siapapun juga yang berada di halaman banjar itu.

“Gadis itu memang luar biasa” desis seseorang diantara anak-anak muda itu, “bagaimanapun juga, ia dapat mengalahkan lawan yang garang ini, meskipun ia kemudian tidak dapat melepaskan perasaannya sebagai seorang gadis”

Dalam pada itu, di bukit gundul Ki Ajar Cinde Kuning masih merenungi saudara kembarnya yang telah mengakhiri hidupnya dengan caranya. Penyesalan dan putus-asa nampaknya telah terlalu dalam menghunjam di dalam jantungnya, sehingga ia merasa tidak pada tempatnya lagi untuk tinggal bersama-sama kehidupan yang beradab.

Beberapa orang yang lain telah mulai dengan mengumpulkan. mereka yang terluka. Satu dua orang anak muda Lumban. ternyata menjadi parah oleh luka-lukanya. Bahkan ada juga diantara mereka yang tidak sadarkan diri lagi dan tidak tahu apa yang terjadi.

Tabib yang sudah tidak dapat berbuat apa-apa lagi atasi Ki Ajar Pamotan Galih itu pun segera bekerja keras di bantu oleh beberapa orang untuk menolong jiwa mereka yang seakan-akan sudah berada di ujung rambut. Namun, betapa segala usaha dilakukan, tetapi akhirnya segalanya terserah kepada keadilan Yang Maha Kuasa. Mereka yang memang sudah waktunya harus menghadap, ternyata tidak akan dapat ditunda lagi.

Dalam pada itu, Daruwerdi pun masih duduk di sisi Ki Ajar Cinde Kuning merenungi tubuh Ki Ajar Pamotan Galih. Rasa-rasanya semuanya itu bagaikan sebuah mimpi. Daruwerdi sama sekali tidak mengerti bahwa kakeknya dan sekaligus gurunya telah berganti orang, meskipun kemudian ia merasakan beberapa perbedaan. Tetapi ia menganggap bahwa hal itu disebabkan karena kakeknya sengaja telah mempersiapkan dirinya dalam tugasnya yang baru.

Selagi anak-anak muda di bukit gundul itu membenahi diri, tiba-tiba mereka telah dikejutkan oleh hadirnya seorang kawan mereka yang berlari-lari dengan nafas terengah-engah. Karena itu, maka anak-anak muda Lumban itu pun telah menyongsongnya sambil bertanya, “Ada apa?”

Anak muda itu mencoba mengatur pernafasannya. Katanya kemudian terbata-bata, “Mana Daruwerdi”

“Ya kenapa?” bertanya kawannya.

Kawan-kawannya yang melihat keadaan yang nampaknya gawat itu telah membawa anak itu kepada Daruwerdi.

“Ibumu dalam bahaya” berkata anak itu, “seorang yang garang telah bertempur dengan gadis yang menemani ibumu itu”

Daruwerdi tiba-tiba saja telah meloncat berdiri Anak muda Lumban itu ternyata telah meninggalkan banjar ketika Swasti mulai bertempur dengan Laksita tanpa melihat akhir dari pertempuran itu. Kecemasan yang bergejolak di hatinya telah mendorongnya untuk pergi ke bukit gundul.

“Katakan sekali lagi” minta Daruwerdi.

“Seseorang telah bertempur dengan gadis yang berada di banjar itu. Orang itu mencarimu, tetapi yang ada hanya ibumu. Gadis itu berusaha untuk melindungi ibumu” jawab anak muda Lumban itu.

Daruwerdi tidak bertanya sekali lagi. ia pun kemudian berlari-lari meninggalkan bukit itu tanpa mengatakan sesuatu kepada siapapun juga.

Jlitheng dan beberapa orang yang mendengar keterangan itu pun tidak dapat tinggal diam. Mereka tidak tahu, siapa orang yang datang itu dan apakah ia memiliki ilmu yang tidak terlawan.

Ki Ajar Cinde Kuning pun menjadi cemas. Tetapi sebelum ia beranjak dari tempatnya, Kiai Kanthi berkata, “Aku ikan melihat apa yang terjadi dengan anakku”

Ki Ajar Cinde Kuning menarik nafas dalam-dalam. Pangeran Sena Wasesa tertarik juga kepada kabar itu. Tetapi setelah beberapa orang meninggalkan bukit gundul itu, maka ia pun membatalkan niatnya untuk pergi ke banjar bersama-sama dengan Kiai Kanthi.

Dalam pada itu, Jlitheng pun berpesan kepada Semi, “Kau disini. Biarlah anak-anak itu menyelesaikan tugasnya disini. Jika perlu sekali, aku akan memberikan isyarat”

Semi tidak menjawab. Namun ia pun kemudian bersama anak-anak muda Lumban telah berusaha untuk membersihkan tempat itu. Kawan maupun lawan yang masih memerlukan pertolongan, telah disiapkan untuk segera mendapat pertolongan.

Sejenak kemudian, Ki Ajar Cinde Kuning merasa tidak perlu terlalu lama merenungi saudara kembarnya yang telah memilih jalannya sendiri. Meskipun terasa pedih di hatinya masih menyengat, namun ia pun akhirnya meninggalkan saudara kembarnya, yang diharapkannya dapat memilih jalan yang lebih baik. Tetapi yang justru memilih jalan yang paling singkat.

Ki Ajar Cinde Kuning kemudian melihat Pangeran Sena Wasesa merenung. Namun ia tidak ingin menegurnya. Pangeran Sena Wasesa masih terpengaruh oleh sikapnya, bahwa ia telah mencampuri perang tanding Pangeran itu melawan Kiai Pusparuri. Namun tanpa campur tangan orang lain, Pangeran Sena Wasesa tidak akan dapat bertahan melawan Kiai Pusparuri yang garang itu.

Dalam pada itu, maka Ki Ajar Cinde Kuning pun telah memilih untuk membantu tabib yang sedang sibuk itu. Ia pun memiliki pengetahuan tentang obat-obat dan ia pun membawa serba sedikit, sehingga dengan demikian, maka ia pun akan dapat membantu meringankan penderitaan mereka yang terluka

Namun akhirnya, Ki Ajar Cinde Kuning itu telah berbicara dengan anak-anak muda Lumban. Mereka bersepakat untuk membawa kawan-kawan mereka yang terluka ke banjar, agar mereka dapat merawat lebih baik. Demikian pula orang-orang Pusparuri yang parah, sementara beberapa orang kawan yang lain akan tinggal untuk menyelenggarakan dan mengubur lawan-lawan mereka yang terbunuh di peperangan.

“Pangeran” berkata Ki Ajar Cinde Kuning kemudian, “Bukankah tidak ada gunanya lagi kita berada di bukit ini?”

Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam.

“Anak-anak muda akan menyelesaikan segalanya. Marilah kita pergi ke Banjar. Kita akan melihat apa yang terjadi, dengan anak gadis Kiai Kanthi itu. Selebihnya kita akan berbicara tentang diri kita masing-masing. Nampaknya persoalan yang membakar daerah Sepasang bukit mati ini telah padam

Mudah-mudahan tidak ada lagi orang-orang tamak yang akan mencari pusaka dan harta benda yang sebenarnya tidak pernah tersimpan di bukit gundul ini. Karena menurut Pangeran semuanya telah kembali ke tempatnya, gedung perbendaharaan Demak” Katanya lebih lanjut.

Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kita akan pergi ke banjar. Tetapi tidak ada lagi yang perlu aku bicarakan. Seperti yang sudah aku katakan, pusaka dan harta benda itu memang sudah berada di gedung perbendaharaan Demak. Dengan demikian sebenarnya sia-sialah korban yang jatuh selama ini dalam perburuan yang tidak punya arti sama sekali”

“Ketamakan kadang-kadang memang membaurkan nalar kita Pangeran” jawab Ki Ajar Cinde Kuning. Lalu, “Namun disamping pusaka dan harta benda itu, masih ada yang dapat di bicarakan diantara kita. Bukan tidak diperhitungkan, bahwa Daruwerdi lah yang harus mengambil Pangeran sebagaimana di kehendaki oleh Pamotan Galih”

Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya. Namun Ki Ajar itu pun berkata, “Marilah. Mudah-mudahan kita akan menemukan jawabnya nanti.

Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya. Namun Ki Ajar itu pun berkata, “Marilah. Mudah-mudahan kita akan menemukan jawabnya nanti”

Pangeran Sena Wasesa tidak membantah lagi meskipun ia sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Ki Ajar Pamotan Galih.

Dalam pada itu, Ki Ajar itu pun masih sempat berpesan kepada anak-anak muda di bukit gundul itu, agar mayat saudara kembarnya itu pun di bawa ke banjar. Bagaimanapun juga orang itu adalah saudaranya, bahkan saudara kembarnya.

Demikianlah maka Pangeran Sena Wasesa dan Ki Ajar Cinde Kuning itu pun bergegas pergi ke banjar Kabuyutan. Merekapun merasa bertanggung jawab atas Kabuyutan itu, apalagi atas ibu Daruwerdi. Perempuan itu seolah-olah telah menjadi anak kandung Ki Ajar Cinde Kuning meskipun ia harus melepaskannya beberapa saat, justru pada saat saudara kembarnya mengganti-kan kedudukannya.

Sementara itu, kedua orang paman Daruwerdi yang telah berada di bukit gundul dan ikut bertempur melawan orang-orang itu pun menjadi bingung, sehingga mereka tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan, Namun mereka pun ingin tahu, apa yang terjadi dengan ibu Daruwerdi, sehingga mereka pun telah menyusul Kiai Kanthi pergi ke banjar.

Sebenarnyalah anak-anak muda Kabuyutan Lumban itu pun telah bekerja dengan baik dan cepat. Karena itu, maka dengan tenaga yang cukup banyak, tugas mereka pun segera dapat mereka selesaikan.

Bahkan beberapa orang anak muda Lumban telah mengambil beberapa buah pedati yang ada di Lumban untuk membawa kawan-kawan mereka maupun orang-orang Pusparuri yang tidak dapat berjalan sendiri menuju ke banjar.

Dengan demikian maka Lumban telah benar-benar menjadi sangat sibuk. Orang-orang Lumban yang semula tidak begitu jelas dengan apa yang terjadi di bukit gundul, akhirnya mereka pun mengerti pula. Sehingga dengan demikian justru mereka menjadi sangat ngeri mendengar peristiwa di bukit gundul itu.

Meskipun peristiwa itu sendiri telah selesai, tetapi perempuan dan anak-anak masih ragu-ragu untuk turun ke jalan. Namun beberapa orang diantara mereka telah memberanikan diri untuk bertanya-tanya, apakah anak mereka selamat pulang ke Kabuyutan Lumban.

Dalam pada itu, Daruwerdi telah berada di banjar Kabuyutan Lumban. Ketika ibunya melihat kedatangannya, maka ia pun segera menyongsongnya, memeluknya seperti memeluk kanak-kanak.

“Apa yang telah terjadi ibu?” bertanya Daruwerdi.

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Gadis itu telah menyelamatkan nyawaku”

Daruwerdi memandang wajah Swasti sejenak. Kemudian ia pun berdesis, “Terima kasih Swasti”

“Kau pun telah menyelamatkan nyawaku ketika aku dan ayah datang ke padukuhan ini” sahut Swasti tersendat-sendat oleh keragu-raguan, “kau telah membunuh harimau itu”

“Hal itu aku lakukan karena kebodohanku” jawab Daruwerdi, “Sudah pernah aku katakan bahwa aku tidak tahu sama sekali, dengan siapa aku berhadapan. Ternyata kau telah mampu membunuh orang yang tidak dapat aku bunuh di bukit gundul. Ia sempat melarikan diri. Ternyata ia telah datang ke banjar ini. Untunglah kau ada disini. Jika anak-anak muda Lumban saja yang menghadapinya, maka korban akan bertebaran di halaman”

“Ah” desah Swasti sambil menundukkan kepalanya.

“Kita berhutang kepadanya” berkata ibu Daruwerdi.

“Ya” Sahut Daruwerdi, “aku pun telah diselamatkannya di bukit gundul saat kami bertemu dengan sisa-sisa orang-orang Sanggar Gading dan Kendali Putih”

“Bukan begitu” jawab Swasti ragu-ragu. Tetapi ternyata ia tidak dapat meneruskan kata-katanya.

“Nampaknya kami sudah berhasil menenangkan diri” berkata, ibu Daruwerdi, “tinggalkan kami disini. Mungkin kau dapat membantu anak-anak muda di halaman banjar ini”

Daruwerdi mengangguk kecil. Sekilas dipandanginya Swasti yang semula menunduk. Namun pada saat yang bersamaan Swasti pun telah mengangkat wajahnya dan memandanginya.

Cepat keduanya memalingkan wajahnya. Namun yang sekilas itu rasa-rasanya telah membuat jantung mereka berdebaran.

Namun kemudian Daruwerdi tidak mengucapkan sepatah katapun lagi. Ia pun segera meninggalkan tempat itu dan turun kehalaman. Dilihatnya Kiai Kanthi telah memasuki halaman itu pula. Namun karena keadaan sudah nampak lebih tenang, maka ia pun tidak tergesa-gesa.

“Dimana anakku ngger?” bertanya Kiai Kanthi kepada Daruwerdi.

“Ada di dalam Kiai” jawab Daruwerdi.

“Kiai Kanthi pun kemudian memasuki banjar itu. Dilihatnya dua orang perempuan duduk di sebuah amben bambu.

“Ayah” desis Swasti. Adalah diluar sadarnya bahwa terasa matanya menjadi panas. Setitik air telah mengembang di pelupuknya.

“Kau selamat Swasti. bersyukurlah” desis Kiai Kasihi, “Ternyata kau masih selalu mendapat perlindungan”

Swasti menunduk. Diusapnya matanya yang basah dengan jari-jarinya. Sementara itu ibu Daruwerdi berkata, “Gadis yang luar biasa Kiai. Tanpa gadis itu, aku tidak tahu apa yang terjadi atas diriku”

“O” Kiai Kanthi mengangguk-angguk, “Tetapi sudah tentu karena pertolongan anak-anak muda Lumban”

“Anak-anak muda Lumban sama sekali tidak berdaya menghadapi orang itu, meskipun bukan berarti bahwa mereka tidak berbuat apa-apa. Tetapi anak perempuan Kiai benar-benar seorang yang luar biasa”

“Terima kasih” sahut Kiai Kanthi, “Sudah aku katakan, sebenarnya Kuasa Yang Maha Kuasa sajalah yang telah menyelamatkan kita semuanya”

Perempuan itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Sebenarnyalah memang demikian Kiai”

Beberapa saat Kiai Kanthi masih berada di ruang itu. Namun kemudian ia pun telah pergi ke pendapa. Ternyata orang-orang tua yang lain pun telah hadir pula di pendapa itu.

Agaknya keadaan yang paling gawat telah lewat bagi Lumban. Yang di lakukan anak-anak muda kemudian adalah menolong yang terluka dan menyelenggarakan yang terbunuh di peperangan sebagaimana seharusnya.

Dengan demikian maka kesibukan di banjar itu pun, menjadi semakin meningkat.

Ternyata bahwa semuanya yang terjadi itu pun kemudian telah dilaporkan kepada Ki Buyut Lumban Wetan dan Lumban Kulon. Apalagi Nugata sendiri ikut menanganinya. Sehingga karena itu, maka kedua Buyut yang kebetulan bersaudara kembar itu pun telah mengunjungi banjar Kabuyutan Lumban Wetan.

Dengan kerja keras, maka akhirnya semuanya dapat diselesaikan. Mereka yang terluka tidak terlalu parah, lelah diantar kepada keluarga masing-masing. Sementara yang mengalami luka yang gawat, masih tetap tinggal di banjar, agar dapat diawasi dan dirawat dengan sebaik-baiknya.

Demikianlah, pada hari berikutnya, Pangeran Sena Wasesa telah dengan sengaja berbicara dengan beberapa orang bebahu Kabuyutan Lumban Wetan dan Lumban Kulon termasuk Ki Buyut dari kedua Kabuyutan yang bertetangga itu. Pangeran Sena Wasesa telah memberikan penjelasan tentang pusaka dan harta benda yang telah menjadi sumber bencana bagi Lumban. Sesuai dengan pendapat Ki Ajar Cinde Kuning, memang ada kesengaja-an dari Ajar Pamotan Galih untuk memancing perhatian beberapa pihak. Apalagi beberapa pihak itu telah pernah mendengar serba sedikit tentang perjalanan seorang Senapati yang meninggalkan Majapahit pada masa-masa terakhir.

“Ki Ajar Pamotan Galih lelah dengan sengaja menyebarkan kabar-kabar yang dapat memancing kekeruhan” berkata Ki Ajar Cinde Kuning, “Tentu saja sebagian atas namaku, atas nama Ajar Macan Kuning dan kemudian Ajar Pamotan Galih”

“Ki Ajar Pamotan Galih mengetahui bahwa aku tahu benar tentang pusaka itu” berkata Pangeran Sena Wasesa, “karena itu, maka ia telah memasang nilai tukar. Jika Ajar Pamotan Galih dapat menangkap aku, maka ia akan dapat memeras aku untuk menjelaskan dimana pusaka itu disimpan. Sementara ia telah menyiapkan barang-barang palsu untuk mengelabui orang-orang yang dianggapnya terlalu bodoh”

Namun akhirnya Pangeran Sena Wasesa itu pun berkata, “Tetapi semuanya sudah lampau. Kita harus berterus terang kepada semua orang, bahwa Pusaka dan harta benda yang mereka cari telah berada di Demak, Pusaka itu telah berada di gedung perbendaharaan, khusus gedung pusaka”

Orang-orang yang mendengar penjelasan itu pun mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud Pangeran Sena Wasesa Agar perburuan pusaka itu tidak terjadi lagi, maka berita bahwa pusaka itu telah berada di gedung pusaka di Demak harus tersebar luas,

“Tetapi pusaka apakah yang sebenarnya di perebutkan itu?” tiba-tiba Kiai Kanthi bertanya.

Pangeran Sena Wasesa memandang Kiai Kanthi sejenak. Lalu katanya, “Apakah Kiai benar-benar bertanya atau sekedar ingin memberitahukan jenis pusaka itu kepada orang-orang yang ada di tempat ini”

Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Tentu aku ingin tahu karena sebenarnyalah aku tidak mengetahui”

Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Katanya, “Kiai, sebelumnya aku memang belum mengenal Kiai. Tetapi seperti yang pernah aku katakan, aku mengenal ciri-ciri pada tata gerak Kiai, dan yang barangkali Kiai pun dapat mengatakan demikian terhadap ilmuku”

Kiai Kanthi berdesah. Katanya, “Mungkin hanya kebetulan Pangeran. Tetapi sebenarnyalah aku tidak tahu sama sekali tentang pusaka yang sedang diperebutkan itu”

“Baiklah Kiai” jawab Pangeran Sena Wasesa, “pusaka yang telah diserahkan bagi seorang Senapati yang mendapat tugas untuk menahan arus lawan itu adalah pusaka yang sangat tinggi nilainya bagi Majapahit. Meskipun Senapati itu tidak berhasil mempertahankan Kota Raja, namun ia telah berhasil menghambat kemajuan lawan dan memberi kesempatan Majapahit menyelamatkan sebagian besar dari isi istana. Bukan saja harta bendanya, tetapi juga manusianya. Dan pusaka itu berupa sebilah sabet. Sebilah pedang yang bernama Kiai Lawang”

“Kiai Lawang” Kiai Kanthi mengulang, “sebuah pedang yang luar biasa”

“Ya Kiai, sabet yang jarang ada duanya” sahut Pangeran Sena Wasesa, “namun yang lebih menarik perhatian mereka yang berburu pusaka, adalah bahwa menurut kepercayaan mereka, dan yang sudah tentu telah disebar luaskan mula-mula oleh lingkungan para pemburu harta benda, bahwa pusaka sabet Kiai Lawang itu di sertai dengan harta benda yang tidak ternilai harganya, sebagai lantaran untuk dapat memulihkan kuasa Majapahit”

“Tetapi usaha itu tidak berhasil?” berkata Kiai Kanthi kemudian.

“Bukan tidak-berhasil” berkata Pangeran Sena Wasesa karena yang kemudian berdiri adalah Demak, maka usaha itu telah disalurkan lewat trah Majapahit yang sudah berhasil menghimpun tegaknya satu negara baru, meskipun tidak berada di bekas kota raja yang lama, Majapahit. Dengan demikian, maka pusaka dan harta benda itu telah diserahkan kepada Demak”

Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Namun sementara itu Daruwerdi berkata, “Agaknya Ki Ajar Pamotan Galih tidak tahu pasti, pusaka apakah yang sebenarnya diburu oleh orang-orang tertentu, dan orang-orang Sanggar Gading. Kendali Putih. Pusparuri dan mungkin orang-orang lain yang ingin juga berburu pusaka itu, sama sekali juga tidak tahu ujud pusaka yang mereka cari”

“Agaknya memang demikian ngger” jawab Pangeran Sena Wasesa.

“Ya. Ternyata Ki Ajar Pamotan Galih telah menyediakan sebuah peti yang diisi dengan sebilah keris. Bukan sebilah sabet” jawab Daruwerdi.

“Tetapi Ki Ajar Pamotan Galih mengetahui, bahwa satu-satunya orang yang tahu pasti dimana pusaka itu adalah Pangeran Sena Wasesa” sahut Ki Ajar Cinde Kuning.

“Nampaknya memang demikian” berkata Pangeran Sena Wasesa kemudian. Lalu, “Dengan demikian maka aku telah menjadi semacam sayembara”

“Tetapi Pangeran” berkata Ki Ajar Cinde Kuning, “justru karena itu maka aku akan sampai pada suatu ceritera yang barangkali akan menarik bagi Pangeran”

Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya. Katanya, “Ceritera apa Ki Ajar?” bertanya Pangeran Sena Wasesa.

“Aku akan mengatakannya pada satu kesempatan yang khusus” berkata Ki Ajar Cinde Kuning.

Pangeran Sena Wasesa tidak menjawab. Namun kemudian dipandanginya orang-orang yang ada disekitarnya. Dilihatnya wajah-wajah yang bersungguh-sungguh dan bahkan nampak ketegangan yang bergejolak di dalam hati orang-orang yang ada disekitarnya. Mereka mendengarkan keterangannya dengan penuh kesungguhan, karena meskipun mereka berada didekat bukit gundul itu, namun mereka sama sekali tidak mengerti dan tidak pernah mendengar ceritera tentang pusaka dan apalagi harta benda yang tidak ternilai harganya. Seandainya pusaka dan harta benda itu pernah ada di bukit gundul, meskipun sebelumnya mereka tidak lahu sama sekali, tetapi mereka akan pernah melihat pusaka dari harta benda itu diambil orang dan dibawa ke Demak. Apalagi orang-orang tua di Lumban Wetan maupun di Lumban Kulon.

Dalam pada itu, maka tiba-tiba Jlitheng telah berkata, “Pangeran. Tetapi apakah benar, bahwa pusaka dan harta benda itu berada di daerah Sepasang Bukit Mati ini”

Pangeran Sena Wasesa tersenyum. Katanya, “Sama sekali tidak. Daerah ini memang pernah dilewati oleh Senapati Besar dari Majapahit itu. Tetapi Senapati itu tidak pernah meninggalkan apapun juga di sekitar Daerah Sepasang Bukit Mati ini. Karena itu, orang-orang Lumban tidak pernah melihat, bagaimana aku mengambil pusaka dan harta benda itu dan membawanya ke Demak”

Jlitheng mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Nah, jika demikian, apakah artinya ceritera tentang Sepasang Bukit Mati itu?”

“Aku kurang tahu” jawab Pangeran Sena Wasesa, “Mungkin ceritera itu memang dibuat oleh seseorang. Mungkin oleh Ki Ajar Pamotan Galih dengan nama Ajar Macan Kuning atau Ajar Cinde Kuning.”

Daruwerdi menundukkan kepalanya. Ia sedikit banyak mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Ki Ajar Pamotan Galih yang disangkanya adalah gurunya sendiri. Beberapa tahun ia berada di tangan orang yang salah. Tetapi ia sama sekali tidak menyangka. Bahkan ia sama sekali tidak menyadari, bahwa ia menjadi salah satu biji permainan Ki Ajar Pamotan Galih.

Namun dalam pada itu, maka Jlitheng pun kemudian berkata, “Nah Ki Buyut Lumban Wetan dan Lumban Kulon. Nampaknya peristiwa yang terjadi disekitar Lumban bagi kita disini, bagaikan sebuah mimpi. Mimpi yang sangat nggegirisi. Dan kini mimpi itu telah lewat. Kita tidak perlu lagi menangisi mimpi yang telah lewat itu, meskipun bagi kita mimpi itu telah meninggalkan bekas-bekasnya. Beberapa anak-anak muda Lumban terluka. Bahkan ada yang menjadi parah. Tetapi semuanya telah lampau. Yang kemudian kita hadapi adalah kenyataan tentang diri kita sendiri”

Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya. Anak muda yang satu ini memang sangat menarik perhatiannya disamping Daruwerdi. Namun sebelum ia bertanya sesuatu, terdengar Rahu berkata, “Jlitheng, nampaknya untuk menghadapi kenyataan tentang Lumban, kau akan mengambil peranan yang penting. Tetapi bukankah disini ada Kiai Kanthi yang sudah mempunyai sebuah gubug kecil di hutan diatas bukit kecil itu? Kau akan dapat bekerja bersamanya dalam banyak hal”

Jlitheng mengerutkan keningnya. Sekilas di pandanginya Kiai Kanthi. Namun agaknya Kiai Kanthi tidak akan berbicara apapun juga. Karena itu, maka Jlitheng lah yang berkata, “Tentu Rahu. Aku tidak akan ingkar. Aku dan Kiai Kanthi telah mulai bermain dengan air. Sementara ini baru sebagian saja dari daerah persawahan di Lumban yang tersentuh air itu. Kami akan mendapat waktu dan kesempatan di hari berikutnya yang masih cukup panjang, agar kami dapat mengatur air dengan lebih baik”

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Kiai Kanthi pun berkata, “Kau benar ngger. Kita sudah mulai bersama-sama. Juga bersama-sama dengan anak-anak muda Lumban. Kita akan meneruskan kerja ini. Kita akan melihat kemungkinan lebih jauh, apakah kita masih dapat menyadap air lebih banyak dari yang sudah kita peroleh sekarang”

Rahu lah yang telah menyahut lebih dahulu, “Segalanya akan dapat di bereskan. Sementara Pangeran Sena Wasesa akan dapat segera kembali ke Demak. Sebenarnyalah aku akan mengantar Pangeran. Secara pribadi maupun dalam tugas-tugasku bersama Semi dan seorang kawan kami”

“Ternyata aku berada disekitar kawan-kawan yang sangat baik” berkata Pangeran Sena Wasesa.

“Bukan hanya sekedar kawan-kawan yang baik Pangeran” potong Ki Ajar Cinde Kuning.

“Apakah yang Ki Ajar maksudkan?” bertanya Pangeran Sena Wasesa.

“Sudah aku katakan, aku mempunyai ceritera tentang Pangeran. Pada saatnya aku akan menyampaikan cerita itu, meskipun sifatnya sangat pribadi bagi Pangeran” jawab Ki Ajar Cinde Kuning.

Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa aneh, bahwa orang cacat yang mengaku bernama Ajar Cinde Kuning itu akan dapat menyampaikan satu ceritera yang menarik dan bersifat sangat pribadi.

Namun dengan demikian maka Pangeran itu pun justru menjadi semakin ingin mengetahui. Tetapi Pangeran Sena Wasesa masih tetap menguasai perasaannya. Ia tidak ingin memaksa orang cacat itu untuk segera berceritera. Biarlah ia sendiri yang menghendakinya.

Dalam pada itu, maka Ki Ajar Cinde Kuning itu pun akhirnya mendapatkan kesempatan itu juga. Selagi orang-orang Lumban sedang beristirahat serta kedua orang Buyut dari Lumban Kulon dan Lumban Wetan yang kembali ke Kabuyutan masing-masing untuk berbincang dengan para pembantunya, maka Ki Ajar Cinde Kuning pun telah berusaha menemui Pangeran Sena Wasesa seorang diri.

Namun dalam pada itu, ibu Daruwerdi yang mengetahui niat Ki Ajar itu pun berkata, “Ayah. Aku berharap, agar ayah tidak membicarakannya lagi dengan Pangeran”

Ki Ajar Cinde Kuning menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Rasa-rasanya ada kewajibanku untuk mengatakannya. Mungkin kau merasa tidak mempunyai kepentingan apapun lagi. Tetapi hal itu? tentu akan berguna bagi anakmu. Kau tidak akan dapat membiarkan anakmu hidup dalam keadaannya seperti sekarang ini. Apalagi setelah ia diracuni oleh cita-cita saudara kembarku, yang lebih tepat disebut ketamakannya. Anakmu memerlukan satu suasana yang berbeda. Apa yang terjadi pada saat-saat terakhir tentu sangat mempengaruhi caranya berpikir. Ia telah diajari oleh saudara kembarku yang disangkanya adalah aku sendiri untuk melakukan satu perbuatan yang sebenarnya kurang terpuji dan jika kau ingin mengetahuinya sekarang, karena semuanya telah lampau, bahwa apa yang dilakukannya itu adalah sangat berbahaya bagi jiwanya. Untunglah bahwa ia telah bertemu dengan orang-orang yang dapat berbuat sesuatu untuk menyelamatkannya”

Ibu Daruwerdi itu pun menunduk dalam-dalam. Sekitar air telah melekat di pelupuknya.

“Jika kau tidak sependapat ngger, anggaplah hal itu suatu pengorbanan bagi kepentingan anakmu, agar ia mendapatkan hari depan yang lebih baik” berkata Ki Ajar Cinde Kuning, “Mudah-mudahan suasana yang berbeda akan melenyapkan kenangannya atas racun yang telah ditaburkan oleh Pamotan Galih”

Perempuan itu menjadi semakin tunduk. Namun kemudian katanya, “Jika semuanya ini akan bermanfaat bagi anak itu, apaboleh buat bapa”

Ki Ajar Cinde Kuning itu pun menepuk pundak anak angkatnya. Katanya lembut, “Mudah-mudahan anak itu akan menemukan hari-hari yang baik di kemudian”

Ibu Daruwerdi tidak menjawab lagi. Dibiarkannya kemudian Ki Ajar Cinde Kuning menemui Pangeran Sena Wasesa seorang diri.

Kiai Kanthi yang mengetahui, bahwa agaknya ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan berdua saja, maka ia pun telah berusaha untuk tidak mengganggunya. Ia telah membuat satu kesibukan tersendiri diantara anak-anak muda Lumban.

Pangeran Sena Wasesa pun menjadi berdebar-debar. Ia sama sekali tidak tahu, persoalan apakah yang akan dikatakan oleh Ki Ajar Pamotan Galih yang dianggap olehnya sebagai sesuatu yang sangat pribadi.

“Pangeran” berkata Ki Ajar Cinde Kuning ketika ia sudah duduk berdua saja dengan Pangeran Sena Wasesa. Lalu, “Aku sebenarnya hanya ingin berceritera”

Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha untuk mengatur perasaannya. Mungkin ceritera itu akan sangat mengejutkannya

Sementara itu, Daruwerdi pun telah menemui ibunya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kenapa ibu nampak gelisah?”

Ibunya termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Ibu tidak apa-apa ngger”

“Agaknya ibu telah berbicara dengan kakek. Kemudian ibu menjadi sangat gelisah. Apakah sebenarnya yang telah terjadi? Peristiwa yang baru saja terjadi telah mengguncangkan hatiku. Aku hampir tidak percaya bahwa orang yang selama ini aku anggap guru dan kakek itu ternyata adalah orang lain. Sekarang nampaknya ada persoalan baru yang tumbuh, yang mungkin akan dapat mempengaruhi perasaanku lagi”

“Tidak ngger. Tidak ada apa-apa yang terjadi” jawab ibunya, “Jika kau melihat ibumu murung, sebenarnya ibu telah disiksa oleh kenangan yang sangat mengerikan. Dengan demikian, maka terima kasihku kepada gadis anak Kiai Kanthi itu terasa semakin mendalam”

Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Hampir diluar sadarnya ia berkata, “Anak itu adalah anak yang baik”

“Ya ngger. Gadis itu adalah gadis yang baik” sahut ibunya, “Mungkin ada kekurangannya dalam hal unggah-ungguh dan suba-sita. Itu dapat di mengerti. Juga sifatnya yang agak kasar dan keras. Hal itu dipengaruhi oleh cara hidupnya yang dibentuk oleh ayahnya yang menekuni olah kanuragan di padepokan yang terpisah. Tetapi sebenarnya ia seorang gadis yang berhati lembut”

Daruwerdi mengangguk-angguk. Diluar sadarnya ia mulai membayangkan gadis yang aneh itu. Gadis yang berwajah cantik, agak kekurus-kurusan. Dalam pakaian yang tidak terlalu pantas dan sederhana. Namun ternyata memiliki ilmu yang tinggi.

Daruwerdi terkejut ketika diluar kehendaknya sendiri ia telah mengambil kesimpulan, bahwa gadis itu adalah gadis yaag sangat menarik.

Ibunya tidak bertanya lebih banyak lagi. Tetapi sebagai seorang ibu, ia dapat menangkap getar di hati anak laki-lakinya. Agaknya Daruwerdi memang menaruh perhatian kepada gadis yang bernama Swasti itu. Gadis yang telah membantu anak muda itu dalam kesulitan di medan, dan yang telah menyelamatkan ibunya dari keganasan orang Pusparuri.

“Gadis itu memang baik” berkata ibunya di dalam hatinya, “Dan aku telah berhutang budi kepadanya”

Tetapi ibu Daruwerdi tidak mengatakannya. Ia tidak mau mendahului sikap anaknya. Biarlah Daruwerdi mengambil sikap sendiri terhadap gadis yang bernama Swasti itu.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Daruwerdi bertanya, “Apakah yang dibicarakan kakek dengan Pangeran Sena Wasesa?”

Ibu Daruwerdi memandang anaknya sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku tidak tahu. Tetapi jika persoalannya menyangkut kau, maka kau tentu akan diberitahu”

Daruwerdi tidak memaksa ibunya untuk mengatakan sesuatu meskipun ia tahu, bahwa pembicaraan itu telah menggelisahkan ibunya.

Karena itu, maka Daruwerdi itu pun kemudian berkata, “Baiklah ibu. Aku akan berada di halaman”

“Jangan pergi” berkata ibunya, “Mungkin kau diperlukan setiap saat”

Kecurigaan Daruwerdi pun menjadi semakin tajam. Tetapi ia tetap tidak mau bertanya lagi. Namun jawabnya, “Aku hanya akan berada di halaman. Setiap saat ibu dapat memanggil aku”

Ibunya tidak mencegahnya lagi ketika Daruwerdi meninggalkannya.

Dalam pada itu, di tempat yang khusus. Pangeran Sena Wasesa masih berbincang dengan orang cacat yang menyebut dirinya Ki Ajar Cinde Kuning. Bahkan semakin lama pembicaraan mereka menjadi semakin bersungguh-sungguh.

“Ki Ajar” berkata Pangeran itu dengan kerut yang dalam dikeningnya, “Apakah Ki Ajar yakin?”

“Aku adalah orang tua Pangeran. Lebih tua dari Pangeran sendiri. Karena itu, aku sebenarnya tidak lagi mempunyai keinginan apapun bagi diriku sendiri” berkata Ki Ajar itu, “Tetapi aku akan senang sekali melihat anak-anak muda itu menemukan hari depannya yang baik. Baik bagi dirinya sendiri dan baik bagi lingkungannya. Daruwerdi bukan seorang yang pantas disebut bengal. Tetapi pada saat terakhir saudara kembarku telah menjerumuskannya ke dalam satu keadaan yang parah dan gawat. Untunglah Yang Maha Kuasa masih melindunginya meskipun terdapat kesan yang kurang baik pada anak itu. Tetapi itu bukan salahnya”

“Aku tidak menyalahkannya Ki Ajar” sahut Pangeran Sena Wasesa.

“Tetapi apakah Ki Ajar yakin, bahwa Ki Ajar tidak akan salah lagi?” berkata Pangeran Sena Wasesa.

“Aku yakin. Jika Pangeran masih sempat mengingat segala peristiwa yang terjadi, maka Pangeran akan menemukan satu keyakinan seperti aku” jawab Ki Ajar Cinde Kuning. “Nah, apakah Pangeran tidak berkeberatan jika aku memanggilnya?”

Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Peristiwa itu sudah lama sekali terjadi. Tetapi apakah Ki Ajar menganggap bahwa aku telah bersalah hal ini?”

Ki Ajar tersenyum. Jawabnya, “Aku tidak mengatakan bahwa Pangeran bersalah. Namun pada waktu itu sebenarnya Pangeran dapat menempuh jalan lain. Jalan yang barangkali tidak begitu menyenangkan bagi seorang Pangeran jika ia harus menanggalkan gelarnya karena seorang perempuan yang bukan termasuk seorang bangsawan”

Pangeran Sena Wasesa memandang wajah Ki Ajar sekilas. Namun tatapan matanya pun kemudian menembus pintu yang tidak tertutup rapat hinggap dikejauhan. Rasa-rasanya segalanya yang pernah terjadi itu mulai membayang satu demi satu. Semakin lama semakin jelas. Sebuah kenangan pada masa mudanya”

Namun tiba-tiba hampir diluar sadarnya Pangeran Sena Wasesa berdesis, “Bukan maksudku. Bukan kehendakku, sendiri. Aku terikat pada satu keharusan untuk melakukannya pada waktu itu. Hati dan jiwaku tidak cukup kuat untuk mempertahan-kan sikapku itu.

Ki Ajar menarik nafas panjang. Katanya, “Pangeran benar. Aku pun beranggapan seperti itu. Dan bukankah sudah aku katakan, bahwa jarang ada seorang Pangeran yang berani menyingkir dari kamukten karena seorang perempuan padepokan”

“Ya Ki Ajar. Aku termasuk salah seorang diantara mereka. Aku termasuk seorang yang lemah hati dan jiwaku” desis Pangeran Sena Wasesa.

“Sudahlah Pangeran” berkata Ki Ajar, “Jangan disesali. Kita sudah sampai pada suatu saat seperti sekarang. Semuanya tidak akan dapat diulangi lagi. Namun demikian kita masih mungkin untuk menemukan masa depan yang paling baik. Jika kita yang tua ini tidak memerlukannya lagi, biarlah anak-anak muda itulah yang akan menempuh masa depan itu. Terkutuklah kita yang tidak mampu mempersiapkan masa depan yang baik bagi keturunan kita hanya karena kita sendiri sajalah yang menjadi pusat perhatian kita. Seolah-olah kita masih akan hidup beribu tahun lagi, sehingga kita telah dicengkam oleh ketamakan yang berlebih-lebihan seperti orang-orang Sanggar Gading, orang-orang Kendali Putih dan orang-orang Pusparuri. Mungkin masih ada lagi orang-orang yang akan berbuat serupa, termasuk saudara kembarku sendiri.

Pangeran Sena Wasesa mengerutkan keningnya. Katanya, “Tetapi bagaimana pendapat Ki Ajar, jika kita yang tua-tua ini telah memburu sesuatu dengan satu angan-angan bagi kepentingan keturunan kita”

“Seharusnya kita berbuat demikian Pangeran” berkata Ki Ajar, “tetapi dalam pengertian yang luas. Keturunan kita bukanlah sekedar anak cucu kita. Tetapi satu tataran yang akan menggantikan kita”

“Jika kita melakukannya bagi anak cucu kita masing-masing, maka bukankah itu berarti bahwa satu tataran sudah dipersiapkan untuk mendapat tempat yang baik” berkata Pangeran Sena Wasesa.

“Bagus” jawab Ki Ajar, “asal kita tidak terlalu terikat kepada kepentingan diri sendiri. Kita mempersiapkan hari depan anak-anak kita, tetapi mengorbankan hari depan anak-anak lain yang juga akan menggantikan kita pada satu saat tertentu”

Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk. Dengan nada yang dalam akhirnya ia pun berkata, “Ki Ajar, Jika yang dikatakan Ki Ajar tentang perempuan itu benar, biarlah aku menemuinya”

Ki Ajar, Cinde Kuning menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih Pangeran. Mudah-mudahan semuanya dapat berakhir dengan baik. Sokurlah bahwa hubungan Pangeran dengan keluarga Pangeran itu belum dirusakkan dan dipecahkan sampai hancur berkeping-keping oleh saudara kembarku”

Pangeran Sena Wasesa termangu-mangu sejenak. Dicobanya untuk mengurai persoalan yang dihadapinya dalam hubungannya dengan permintaan Pamotan Galih atas dirinya.

Dalam pada itu, maka Ki Ajar Cinde Kuning pun telah memanggil seorang perempuan yang dikenal sebagai ibu Daruwerdi, yang sebenarnya lebih senang untuk tidak berbicara dengan Pangeran Sena Wasesa.

Tetapi ia tidak dapat menolak keinginan ayah angkatnya, yang lebih banyak berpikir tentang Daruwerdi daripada tentang perempuan itu sendiri.

Karena itu, dengan jantung yang berdegup semakin cepat, maka ia pun mengikuti Ki Ajar Cinde Kuning menghadap Pangeran Sena Wasesa yang duduk sendiri menanti Ki Ajar sebagaimana di pesankan kepadanya.

Ketika perempuan itu memasuki ruangan, maka seperti perempuan itu, Pangeran Sena Wasesa pun menjadi berdebar-debar. Ia sudah melihat perempuan itu sejak ia berada di Lumban. Tetapi ia sama sekali tidak berpikir bahwa ia pernah melihatnya sebelumnya. Bahkan lebih dari pada itu. Sementara waktu itu telah berlaku lebih dari dua puluh tahun yang lalu.

Demikian perempuan itu duduk dihadapannya, maka wajahnya pun segera menunduk dalam-dalam. Bahkan terasa pelupuk matanya menjadi panas.

Tiba-tiba saja ia berdesis, “Tidak. Tidak ayah. Aku tidak memerlukan apapun juga”

Tetapi ketika perempuan itu bangkit dan hampir saja berlari keluar, Ki Ajar Cinde Kuning telah menghalanginya sambil berkata lembut, “Tenanglah ngger. Cobalah berpikir sebaik-baiknya. Seperti sudah aku katakan. Jangan berpikir tentang dirimu sendiri. Tetapi kau harus lebih banyak berpikir tentang anakmu. Berilah ia kesempatan untuk menemukan sesuatu meskipun hal itu sama. sekali tidak terpikirkan sebelumnya”

Perempuan itu tidak dapat menahan gejolak perasaannya lagi. Ketika ia duduk lagi, maka setitik air telah meleleh di matanya.

Dalam pada itu, Pangeran Sena Wasesa pun mencoba untuk mengenali perempuan itu. Jarak waktu yang memisahkan cukup lama, sehingga semuanya sudah berubah. Wajah perempuan itu pun telah berubah seperti wajahnya sendiri yang telah berubah pula. Masa itu ia masih seorang Pangeran muda yang menginjak masa dewasanya. Karena waktu itu ia dicengkam oleh suatu keinginan untuk menguasai ilmu kanuragan, maka ia telah melupakan usia dewasanya, sehingga ia termasuk agak terlambat mengenal lembutnya hati perempuan.

Dan perempuan yang pertama menyentuh hatinya adalah perempuan padepokan. Dan perempuan itu kini berada di hadapannya,

“Srini” tiba-tiba saja Pangeran Sena Wasesa berdesis.

Ibu Daruwerdi itu tidak dapat menjawab. Tetapi titik air matanya menjadi semakin deras mengalir di pipinya.

Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Setelah diperhatikannya dengan seksama, maka ia tidak akan salah lagi. Meskipun wajah perempuan itu sudah berubah, tetapi ia masih tetap mengenalinya bahwa perempuan itu benar Srini seperti yang dikatakan oleh Ki Ajar Cinde Kuning. Endang Srini yang ditemuinya di sebuah padepokan kecil yang sepi, pada saat ia sedang berburu.

Dalam pada itu, maka Ki Ajar Cinde Kuning itu pun kemudian berkata, “Bukankah dengan demikian. Pangeran dapat mengenang dengan jelas apakah yang pernah terjadi”

Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Dengan wajah yang suram Pangeran itu berkata, “Ki Ajar. Segalanya seolah-olah menjadi sangat jelas seperti baru kemarin saja terjadi”

“Apakah Pangeran dengan demikian mengerti, siapakah Daruwerdi itu?” bertanya Ki Ajar Cinde Wangi,

“Aku tahu maksud Ki Ajar. Ki Ajar ingin mengatakan bahwa anak itu adalah anakku sendiri” sahut Pangeran Sena Wasesa.

“O” tiba-tiba saja perempuan yang disebut bernama Endang Srini itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Sementara itu ia telah berusaha untuk menahan tangisnya yang akan meledak.

Pangeran Sena Wasesa termangu-mangu sejenak. Namun seperti yang dikatakannya, semuanya menjadi jelas. Dalam kenangannya Pangeran Sena Wasesa melihat, betapa artinya terguncang ketika ia melihat seorang gadis padepokan selagi ia singgah bersama seorang pengiringnya ketika ia pergi berburu. Perempuan yang kemudian diperisterikannya. Namun ia telah di hadapkan pada satu masalah yang gawat bagi kedudukannya sebagai seorang Pangeran. Beberapa pihak tidak setuju bahwa ia telah kawin dengan seorang gadis padepokan. Ia dapat mengambil perempuan itu sebagai selirnya. Tetapi ia harus kawin dengan seorang perempuan yang telah ditentukan oleh lingkungan keluarganya yang ketat memegang paugeran.

Tetapi Pangeran Sena Wasesa tidak sampai hati menganggap perempuan yang dicintainya itu sebagai isteri paminggir. Karena itu ia telah mengambil keputusan betapapun berat bagi dirinya sendiri. Dari pada menganggap Endang dari padepokan kecil itu sebagai isteri paminggirnya, maka ia lebih baik berpisah sama sekali dengan mengembalikan Endang itu kepada orang tuanya.

Betapa sakit dan pedihnya perasaan perempuan itu. Tetapi ayahnya, seorang pertapa yang bijaksana dapat mengerti, bahwa hal itu bukan karena kesewenang-wenangan Pangeran Sena Wasesa. Meskipun pertapa itu pun tahu, bahwa Pangeran Sena Wasesa ternyata masih di selubungi oleh gelar keduniawian. Ia tidak dapat memberikan pengorbanan bagi cintanya. Ia masih ingin tetap disebut seorang Pangeran dengan menerima seorang perempuan bangsawan sebagai isterinya.

Namun akhirnya Pangeran itu pun menjalani kehidupan cintanya dengan ikhlas. Ia berusaha untuk menempatkan isterinya yang bangsawan itu di dalam hatinya. Sehingga akhirnya kehidupan keluarganya pun menjadi seimbang.

Namun ia dihadapkan pada suatu kenyataan. Endang Srini yang dikembalikan itu memang sedang mengandung. Dengan berat hati ia terpaksa tidak dapat meminang anaknya. Sekali-sekali ia memang mengunjungi anaknya disaat masih bayi. Tetapi kesempatan itu akhirnya telah hilang sama sekali. Ia hanya dapat meninggalkan beberapa bekal bagi anaknya. Namun ia sendiri akhirnya terpisah sama sekali dari anak laki-lakinya yang hidup dan dibesarkan di sebuah padepokan.

Sejak saat itu, Pangeran Sena Wasesa tidak pernah bertemu lagi dengan anak laki-lakinya yang dilahirkan oleh seorang perempuan padepokan.

Sejenak, ruangan itu dicengkam oleh keheningan. Tidak seorang pun yang berbicara diantara mereka. Masing-masing seolah-olah sedang hanyut dalam arus angan-angan.

Sementara itu, ketika Daruwerdi keluar dari ruang dalam dan turun lewat longkangan, tiba-tiba saja langkahnya tertegun. Dilihatnya seorang gadis duduk disebelah amben bambu di serambi seorang diri.

“Swasti” desis Daruwerdi.

Swasti terkejut. Ketika ia berpaling, ditatapnya mata Daruwerdi yang sedang memandanginya. Karena itu, maka ia pun segera menundukkan wajahnya.

Seandainya ia berhadapan dengan lawan yang menggenggam pedang sekalipun ia tidak akan berbuat demikian. Namun dihadapan Daruwerdi, rasa-rasanya jantungnya menjadi bergetar semakin cepat.

Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan diluar sadarnya ia mendekati gadis itu dan justru duduk di amben itu pula, disebelah gadis yang semakin menunduk itu.

Keringat telah membasahi di punggung Swasti. Ia sendiri tidak tahu, kenapa ia menjadi sangat gelisah.

Tetapi Daruwerdi pun tidak segera mengatakan sesuatu Untuk beberapa saat ia duduk sambil berdiam diri. Namun ternyata seperti jantung Swasti, maka jantungnya pun telah bergejolak.

Dalam pada itu, adalah kebetulan sekali bahwa Jlitheng telah melintas agak jauh dari tempat mereka duduk. Sejenak langkah Jlitheng terhenti. Namun ia pun kemudian melanjutkan langkahnya menikung di sudut tanpa dilihat oleh kedua orang itu.

Sesaat Jlitheng terhenti. Rasa-rasanya ia ingin menenangkan jantungnya yang menggelepar. Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja anak muda itu telah tersenyum. Seakan-akan ia sedang mengejek dirinya sendiri yang gelisah oleh sesuatu yang tidak pasti.

Tiba-tiba saja Jlitheng mencoba untuk memberanikan diri bertanya kepada diri sendiri, “Apa yang sebenarnya terjadi di relung hati ini?”

Jlitheng menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian melangkah ke kebun belakang tanpa tujuan. Di bawah sebatang pohon manggis ia pun berhenti. Namun kemudian ia pun telah melangkah lagi ke sisi yang lain dan lewat halaman samping menuju ke pendapa.

Yang gelisah dalam kediamannya adalah ibu Daruwerdi dan Pangeran Sena Wasesa. Namun kemudian terdengar suara Pangeran Sena Wasesa lemah, “Sekarang aku tahu Ki Ajar. Kenapa Daruwerdi merasa, bahwa aku telah membunuh ayahnya. Ternyata pengertian dari ungkapan itu dapat aku tangkap. Seakan-akan aku telah merampas ayah anak itu dan memisahkannya. Membunuhnya dalam pengertian yang lain”

“Tidak” Ibu Daruwerdi memotong diantara isaknya, “Aku tidak pernah mengajarkannya itu. Ia pun tidak mengerti bahwa Pangeran adalah ayahnya. Apalagi yang telah terjadi atas dirinya”

Pangeran Sena Wasesa memandanginya dengan tajamnya. Namun dalam pada itu, Ki Ajar lah yang berkata, “Srini benar Pangeran. Anak itu tidak pernah mengetahui sampai saat ini, siapa dirinya yang sebenarnya. Ibunya pun tidak pernah mengajarinya mendendam kepada siapapun. Tetapi kesan yang buruk itu telah di bangunkan oleh Pamotan Galih. Meskipun ia tidak mengatakan dengan jelas, tetapi anak itu telah menangkap satu pengertian yang salah. Tetapi pengertian kematian bagi anak itu adalah sebenarnya kematian, sehingga orang yang membunuh ayahnya itu menurut pengertiannya akhirnya dianggapnya benar-benar telah membunuhnya secara wadag, meskipun semula hanya sekedar untuk membangkitkan kebenciannya saja.

“Hampir tidak ada bedanya” jawab Pangeran Sena Wasesa, “tetapi aku tidak akan dapat menyalahkannya jika kesan itu memang ada pada anak itu”

“Segalanya dapat dijelaskan Pangeran” berkata Ki Ajar Cinde Kuning.

Pangeran Sena Wasesa memandang Ki Ajar dengan wajah yang menegang. Agaknya ada sesuatu yang ternyata bergejolak di dalam hatinya. Meskipun Ki Ajar itu menduga, bahwa ketegangan perasaan Pangeran itu disebabkan oleh kehadiran seorang perempuan yang tentu tidak diduga sebelumnya, namun sebenarnyalah ada sesuatu yang telah menggetarkan hati Pangeran Sena Wasesa.

Dalam pada itu. maka dengan nada yang dalam, Pangeran itu pun berkata, “Ki Ajar. Baiklah Ki Ajar memanggil anak itu. Biarlah aku sendiri mengatakan kepadanya, siapakah ayahnya, yang sebenarnya. Kemudian biarlah orang-orang lain, yang ada disini, orang-orang Lumban dan bahkan kemudian keluargaku seluruhnya mengetahui, bahwa anak itu adalah anakku. Anakku yang lahir dari sebuah perkawinan yang dilambari dengan cinta antara anak-anak muda. Namun keadaan telah memisahkan kami”

“Memang bukan kehendak Pangeran sendiri” desis Ki Ajar.

“Hatiku memang lemah sekali. Bukan saja waktu itu, tetapi sampai saat ini pun aku adalah seorang Pangeran yang lemah hati. Aku termasuk seorang Pangeran yang mendapat kepercayaan sebagai seorang Senopati. Tetapi kekuatan lahiriah itu ternyata sama sekali tidak mencerminkan kekuatan batinku” desis Pangeran Sena Wasesa.

“Sudahlah Pangeran” berkata Ki Ajar Cinde Kuning.

“Hal ini berlaku sampai saat ini Ki Ajar” jawab Pangeran Sena Wasesa.

“Tentu tidak” sahut Ki Ajar.

Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan nada dalam ia berkata, “Biarlah aku berbicara dengan anakku. Aku akan menjelaskan segala-galanya. Bukan saja tentang kedudukannya, tetapi tentang keadaan yang kita hadapi sekarang ini”

Ki Ajar mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragunya ia bertanya, “Keadaan yang manakah yang Pangeran maksudkan? Pertemuan Pangeran dengan Endang Srini dalam keadaan seperti sekarang ini?”

“Tidak. Bukan tentang hal itu. Tetapi tentang hal yang lebih besar lagi bagi kita semuanya. Bukan sekedar soal pribadi. Tetapi persoalan kita. Persoalan Demak” jawab Pangeran itu.

Ki Ajar Cinde Kuning lah yang kemudian menjadi heran. Ia sudah mengungkapkan satu persoalan pribadi Pangeran Sena Wasesa. Namun ternyata Pangeran Sena Wasesa masih menyimpan satu masalah yang lebih besar dari persoalan pribadinya itu.

Namun dalam pada itu, Pangeran Sena Wasesa pun berkata, “Ki Ajar. Biarlah aku mendapat kesempatan untuk berpikir. Biarlah aku menentukan apakah yang akan aku lakukan, justru karena persoalan yang besar itu. Aku mohon Ki Ajar memberi kesempatan kepadaku untuk berbicara dengan Endang Srini tanpa orang lain. Aku akan berbicara tentang masa depan anakku yang sudah terlalu lama terpisah dari aku”

Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya, “Silahkan Pangeran. Tentu aku tidak akan berkeberatan. Adalah hak Pangeran untuk berbicara tentang putera Pangeran itu”

“Terima kasih Ki Ajar. Selebihnya aku akan memberitahukan kepada Ki Ajar, apakah yang sebaiknya kita lakukan pada saat seperti ini” berkata Pangeran itu kemudian.

Ki Ajar pun kemudian minta diri untuk meninggalkan ruangan itu, sementara Endang Srini dan Pangeran Sena Wasesa masih tetap berada di ruangan itu tanpa orang lain.

Sejenak keduanya saling berdiam diri. Mereka, ternyata sempat mengenang kembali apa yang pernah terjadi diantara mereka. Namun hal itu telah lama berlalu.

Baru sejenak kemudian Pangeran Sena Wasesa berkata, “Srini. Beruntunglah, bahwa aku masih sempat berbicara denganmu mengenai anak kita. Yang Maha Kuasa telah mempertemukan kita dalam keadaan yang sama sekali tidak aku duga sebelumnya. Namun dalam pembicaraan yang singkat dan kenyataan yang aku hadapi sekarang ini, maka telah terjadi satu pergolakan di dalam diriku. Karena itu, aku ingin mendapat bantuanmu untuk mengambil satu keputusan, apakah yang sebaiknya aku lakukan untuk kepentingan anak kita dan barang kali perlu kau ketahui, aku mempunyai seorang anak perempuan yang aku tinggalkan di istanaku”

“Aku sudah mengetahuinya Pangeran” jawab Srini.

“O” Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk, “Sokurlah. Aku harap kau dapat mengerti”

“Aku mengerti Pangeran. Aku mengerti sejak aku harus kembali kepada ayah dan ibuku di padepokan” jawab Endang Srini.

Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian terdengar ia berdesis, “Dimana ayah dan ibumu sekarang? Apa hubunganmu dengan ayah angkatmu itu sebelumnya?”

“Ayah Ajar Cinde Kuning adalah orang yang dikenal baik oleh ayahku. Ketika ayah dan kemudian ibuku meninggal, maka aku telah menjadi anak angkat Ki Ajar Cinde Kuning. Namun tanpa aku ketahui bahwa ayah Ajar Cinde Kuning mempunyai saudara kembar yang telah hampir saja merusak hidupku dan anakku” jawab Endang Srini.

Pangeran Sena Wasesa mengangguk-angguk kecil. Namun kesungguhan yang memancar di wajahnya menyatakan, betapa ia sedang berpikir dengan sungguh-sungguh pula.

Untuk beberapa saat, Pangeran Sena Wasesa merenungi dirinya sendiri. Ki Ajar Pamotan Galih, saudara kembar Ki Ajar Cinde Kuning yang telah menyatakan dirinya sebagai Ki Ajar Cinde Kuning itu sendiri, setelah berusaha membunuh saudaranya itu, hampir saja telah merusak hidup Daruwerdi.

Namun tiba-tiba saja ia berkata kepada dirinya sendiri, “Apakah ketamakan yang demikian akan merusak hidupnya, justru dari aku sendiri. Dari ayahnya?”

Dalam gejolak perasaannya, maka Pangeran Sena Wasesa yang telah bertemu dengan isterinya itu, seolah-olah mendapat tempat untuk mencari pertimbangan. Sebagaimana dikatakannya, maka Pangeran Sena Wasesa benar-benar ingin mendapat bantuan Endang Srini untuk memecahkan satu persoalan yang gawat bukan saja bagi dirinya sendiri.

Sementara Pangeran Sena Wasesa kemudian berbincang dengan sungguh-sungguh untuk menentukan satu sikap, maka Ki Ajar Cinde Kuning yang berdiri di pintu butulan masih melihat Daruwerdi duduk berdua dengan Swasti. Nampaknya keduanya sedang berbicara dengan sungguh-sungguh pula sebagaimana dilakukan oleh ayah dan ibunya.

Sesaat Ki Ajar memandang keduanya. Namun ia pun kemudian melangkah meninggalkan serambi itu dan lewat pintu yang lain turun ke halaman samping. Namun ketika ia melihat Jlitheng duduk di pendapa bersama Kiai Kanthi, maka ia pun telah pergi ke pendapa pula.

Kiai Kanthi mengerutkan keningnya. Hampir diluar sadarnya ia bertanya, “Apakah pembicaraan Ki Ajar dengan Pangeran Sena Wasesa telah selesai?”

Ki Ajar menggeleng. Katanya, “Belum. Masih ada persoalan yang akan dikatakan oleh Pangeran Sena Wasesa, persoalan yang lebih besar dari persoalan tentang dirinya sendiri”

Kiai Kanthi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Ajar meneruskan. “Jika semula aku yang berteka-teki, namun kemudian Pangeran Sena Wasesa lah yang memberikan teka-teki itu. Tetapi aku tidak dapat dengan tergesa-gesa ingin mendengarnya. Aku harus menunggu, kapan saja Pangeran itu ingin mengatakan tebakannya”

Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Sementara itu katanya?, “Ternyata segalanya berjalan menurut jalurnya masing-masing. Kita memang hanya dapat merancang. Namun yang kemudian terjadi kadang-kadang diluar keinginan kita”

Jlitheng mengerutkan keningnya. Dipandanginya Kiai Kanthi sekilas. Namun ia pun kemudian menundukkan kepalanya.

Ki Ajar Cinde Kuning tidak menyahut. Tetapi perhatiannya tidak terlepas dari suasana wajah anak muda yang menyebut dirinya Jlitheng itu. Rasa-rasanya ada sesuatu yang tersembunyi di balik kegelisahan yang memancar di wajahnya. Tetapi Ki Ajar tidak menanyakannya.

Jlitheng sendiri tidak mengatakan apapun juga. Namun ternyata bahwa Kiai Kanthi mampu menangkap gejolak perasaan anak muda itu. Sudah cukup lama ia mengamati sikapnya terhadap anak gadisnya. Namun diluar kehendak Kiai Kanthi. agaknya perasaan Swasti menjadi lebih dekat dengan Daruwerdi yang menurut ujud lahiriahnya, memang mempunyai kelebihan dari Jlitheng yang sengaja membaurkan dirinya dengan anak-anak Lumban, meskipun Swasti mengenal siapa sebenarnya”

Hari itu dilalui dengan ketegangan-ketegangan di hati beberapa orang yang masih saja berada di banjar Kabuyutan Lumban Wetan. Diluar pengetahuan anak-anak muda Lumban yang merasa telah terbebas dari benturan kekuatan yang terjadi di lingkungan hidup mereka tanpa mereka ketahui ujung dan pangkalnya, maka orang-orang yang berada di banjar itu tengah mempersoalkan masalah mereka masing-masing.

Ketika malam turun, maka Pangeran Sena Wasesa telah minta sekali lagi orang-orang yang berada di banjar itu untuk berkumpul, terutama Kiai Kanthi, Daruwerdi, ibunya, Jlitheng dan Ki Ajar Cinde Kuning disamping satu dua orang lain yang dianggap tidak akan mengganggu pertemuan itu, termasuk kedua adik Endang Srini dan Swasti.

Sikap dan pancaran wajah Pangeran Sena Wasesa nampak agak berbeda. Wajah itu tidak lagi buram dan dibebani oleh persoalan di dalam dirinya. Tetapi sorot mata Pangeran itu rasa-rasanya menjadi bening dan di bibirnya nampak senyumnya yang cerah,

Ki Ajar Cinde Kuning dan Kiai Kanthi melihat perubahan itu. Tetapi mereka tidak dapat meraba sampai ke dasar. Perubahan warna jiwani yang manakah yang telah terjadi pada Pangeran Sena Wasesa itu.

“Mungkin ia telah menemukan satu keyakinan, bahwa perempuan itu benar-benar isterinya, dan anak muda yang menyebut dirinya Daruwerdi itu adalah anak laki-lakinya” berkata Ki Ajar Cinde Kuning di dalam hatinya.

Dalam pada itu, setelah mereka duduk melingkar tanpa kehadiran anak-anak muda Lumban atas permintaan Pangeran Sena Wasesa, maka Pangeran itu pun berkata, “Ki Ajar, Kiai Kanthi dan Ki Sanak semuanya yang ada di ruangan ini Ada sesuatu yang ingin aku beritahukan kepada kalian. Persoalan yang sebenarnya terlalu pribadi. Tetapi juga persoalan yang lebih besar dari persoalan pribadi itu”

Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Sekilas di pandanginya wajah Kiai Kanthi yang menunduk.

“Ki Ajar” berkata Pangeran Sena Wasesa lebih lanjut

“Mungkin satu dua diantara kalian telah mengetahui sebagaimana Ki Ajar katakan kepadaku tentang persoalan pribadi itu.

“Tidak Pangeran” jawab Ki Ajar, “Aku tidak mengatakannya apapun juga tentang Pangeran”

“Baiklah” berkata Pangeran Sena Wasesa kemudian

“Jika demikian biarlah aku yang mengatakannya”

Ki Ajar memandang wajah Pangeran itu sejenak. Tetapi seperti ketika ia memasuki ruangan itu, dilihatnya wajah itu nampak cerah.

“Silahkan Pangeran” berkata Ki Ajar Cinde Kuning kemudian. Sebenarnyalah ia ingin segera mendengar teka-teki yang sulit untuk ditebaknya itu. Jika ia semula menyampaikan persoalan pribadi itu kepada Pangeran Sena Wasesa. maka kini ialah yang di gelisahkan oleh persoalan yang disebut oleh Pangeran Sena Wasesa sebagai persoalan yang jauh lebih besar dari persoalan pribadinya itu. Namun demikian ia masih harus menunggu. Agaknya yang akan dikatakan, justru yang didengar Pangeran itu dari padanya.

Sebenarnyalah, Pangeran Sena Wasesa tidak lagi merasa segan untuk menceritakan tentang dirinya sendiri. Dengan lancar ia berkata, “Kiai Kanthi dan Ki Sanak semuanya, ternyata bahwa Ki Ajar Cinde Kuning telah mempertemukan aku dengan orang yang sangat penting di dalam hidupku. Bukan satu kebetulan, tetapi agaknya Ki Ajar Pamotan Galih telah memperhitungkannya, Itulah sebabnya maka anak muda yang menyebut dirinya Daruwerdi itu mencari seseorang yang dianggapnya telah membunuh ayahnya. Membunuh dalam pengertian yang lain. Bukan membunuh dalam arti kewadagan. Yang itu adalah orang yang mengetahui serba sedikit tentang pusaka dan harta benda yang pernah ditinggalkan oleh salah seorang Senapati dari Majapahit, yang pada saat terakhir berusaha untuk bertahan. Namun ia asal mempertahankan kota raja sehingga ia telah berusaha menyelamatkan pusaka yang diserahkan kepadanya dan sejumlah harta benda yang tidak ternilai harganya. Maksudnya, ia akan mulai dengan satu perjuangan yang panjang melalui segala upaya”

Pangeran Sena Wasesa berhenti sejenak. Hal itu sudah pernah didengar oleh orang-orang yang berada di ruang itu. Bahkan Pangeran Sena Wasesa pernah mengatakan, bahwa semuanya itu telah diserahkannya kepada yang berhak, Pemerintahan di Demak.

Namun dalam pada itu Pangeran Sena Wasesa berkata, “Dalam pergolakan yang demikian, yang ternyata ekornya terasa bergetar sampai saat ini di daerah Sepasang Bukit Mati ini, telah menjadi satu lantaran bagiku, untuk menemukan apa yang pernah aku anggap hilang”

Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Sementara Kiai Kanthi masih menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Pangeran itu.

“Ki Sanak” berkata Pangeran itu selanjutnya, “Aku telah menemukan sesuatu yang sangat berharga bagiku”

“Ya, apa?” hampir saja Jlitheng bertanya.

Dalam pada itu, mulailah Pangeran Sena Wasesa berceritera tentang dirinya sendiri pada masa mudanya. Tidak terlalu menarik bagi yang mendengarkannya. Namun ia mengatakan bahwa anak laki-laki yang lahir dari seorang ibu yang harus dilepaskannya itu kemudian diketemukan sekaligus bersama ibunya, maka semua orang menjadi berdebar-debar.

Namun dengan pasti Pangeran Sena Wasesa berkata, “Anak itu sekarang ada di ruang ini. Perempuan tua ini adalah Isteriku, dan anaknya adalah anakku”

“Ibu” tiba-tiba saja Daruwerdi bergeser mendekati ibunya, “Apakah benar pendengaranku”

Jika pada pembicaraannya dengan Pangeran Sena Wasesa, Srini masih dapat membatasi tangisnya, maka tiba-tiba saja ia telah memeluk anak laki-lakinya dan menangis sejadi-jadinya. Diantara isak tangisnya terdengar ia berkata, “Ya ngger. Pangeran Sena Wasesa adalah ayahmu”

“Tetapi, tetapi….” kata-kata Daruwerdi terpotong oleh perasaannya yang menjadi bingung. Sementara ibunya masih saja menangis sambil memeluknya.

Ruangan itu menjadi diam. Yang terdengar adalah tangis Endang Srini yang tertahan-tahan. Disela-sela tangisnya itu terdengar ia berbisik, “Anakku, semua yang pernah aku katakan terdahulu, semata-mata untuk menutupi keadaan yang sebenarnya. Yang kau dengar sekarang inilah yang sebenarnya telah terjadi. Jika kau ingin kepastian, bertanyalah kepada kakekmu”

Daruwerdi memandang Ki Ajar Cinde Kuning sekilas. Dilihatnya orang tua itu tersenyum sambil mengangguk. Katanya

“Ibumu benar Daruwerdi”

Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Itulah agaknya maka ibunya berpesan dengan sungguh-sungguh agar ia tidak menyakiti Pangeran Sena Wasesa pada saat Pangeran Sena Wasesa dibawa oleh orang-orang Sanggar Gading kepadanya. Tetapi kesan yang didapatkannya pada waktu itu sangat berbeda dengan kebenaran yang dikatakan oleh ibunya itu. Sehingga dengan demikian, maka Daruwerdi pun merasa, bahwa apa yang diketahuinya adalah satu keadaan yang sama sekali baur dan tidak menentu.

“Aku minta maaf kepadamu ngger” bisik ibunya kemudian, “Aku tidak dapat berterus terang sebelumnya”

Daruwerdi mencium tangan ibunya. Kemudian katanya, “Bukan ibu yang bersalah”

“Bukan orang lain pula” sahut ibunya,

Daruwerdi terdiam. Ada sebersit kekecewaan di hatinya terhadap orang yang disebut ayahnya itu. Ayah yang tidak pernah mengetahui perkembangan jiwa dan kewadagan anaknya.

Namun dalam pada itu, Ki Ajar yang melihat sorot mata Daruwerdi itu pun berkata, “Kau harus berterima kasih. Yang harus kau cari bukan kesalahan orang lain. Tetapi bahwa Yang Maha Kuasa sudah berkenan mempertemukan kau dengan orang tuamu”

Akhirnya kepala Daruwerdi itu pun menunduk.

Sementara itu, orang-orang lain pun telah dicengkam pula oleh gejolak perasaan masing-masing. Namun beberapa orang memang sudah menduga, bahwa Daruwerdi pada suatu saat akan menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Meskipun yang terjadi justru orang lain yang telah membuka tabir tentang dirinya yang justru tidak diduga oleh Daruwerdi sendiri.

Yang jantungnya menjadi berdentangan adalah Swasti. Anak muda yang bernama Daruwerdi itu telah sangat menarik perhatiannya. Diluar kuasanya untuk menolak, hatinya telah tertambat oleh anak muda itu. Sejak ia melihat untuk pertama kalinya, seolah-olah sebuah bisikan telah didengar di telinga hatinya, bahwa anak muda itu akan dapat menjadi tumpuan perasaan kegadisannya.

Tetapi ternyata anak muda itu adalah putera seorang Pangeran. Sedang dirinya sendiri adalah seorang gadis kabur kanginan yang tidak menentu papan dan dunungnya.

Tiba-tiba saja Swasti merasai dirinya terlalu kecil. Ia merasa sangat tidak berharga. Seorang gadis yang hidup di dalam gubug kecil di lereng bukit. Itu pun karena pertolongan anak-anak muda Lumban.

Ketika sekilas Swasti memandang ibu Daruwerdi yang sedang mengusap matanya, maka seolah-olah nampak sebuah contoh bagi hidupnya. Seorang perempuan padepokan yang kawin dengan seorang bangsawan, sehingga tataran hidup yang tidak seimbang itu telah melemparkan mereka kedalam satu kehidupan yang pahit.

Diluar sadarnya Swasti memandang seorang anak muda yang lain meskipun hanya sekilas. Anak muda yang menyebut dirinya Jlitheng, namun yang sebagaimana dikatakannya adalah juga seorang putera Pangeran yang telah tidak ada lagi. Namun justru karena sikap hidupnya Jlitheng menjadi terasa lebih dekat dengan anak-anak Lumban daripada Daruwerdi.

Tetapi Jlitheng sama sekali tidak menyentuh perasaannya. Bahkan kadang-kadang ia merasa terganggu oleh kehadirannya. Apalagi sejak ayahnya seakan-akan lebih banyak memperhatikan Jlitheng daripada memperhatikan dirinya.

“Ia juga seorang bangsawan” berkata Swasti di dalam hatinya, “Yang akan dapat menimbulkan akibat yang serupa”

Jlitheng sendiri pada saat itu duduk termenung sambil menunduk. Diluar sadarnya, ia justru sedang melihat kepada dirinya sendiri. Ada sepercik keinginan untuk menyatakan dirinya bahwa ia mempunyai kedudukan yang tidak kalah dari Daruwerdi itu. Namun ternyata bahwa ia masih mampu menahan diri. Apalagi ketika ia berpaling kearah Rahu yang kebetulan sedang memandanginya dengan tatapan mata yang muram.

Sementara itu, keheningan itu pun kemudian dipecahkan oleh suara Pangeran Sena Wasesa, “Suatu kenangan yang barangkali kurang menarik untuk dikenang”

Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Diluar pengetahuan anak gadisnya, ia memandanginya. Sebagai orang tua, maka ia dapat menangkap perasaan Swasti yang sedang bergejolak menilik sikapnya yang gelisah. Tetapi Kiai Kanthi tidak mengatakan sesuatu.

Dalam pada itu, maka Pangeran Sena Wasesa pun berkata selanjutnya, “Terserahlah tanggapan Ki Sanak sekalian atas peristiwa itu. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku menyesali kelemahan hatiku pada waktu itu. Dan sekarang, aku pun akan berbuat serupa. Aku telah menyesali pula atas kelemahan hatiku. Kelemahan yang apabila tidak segera diluruskan akan berakibat sangat buruk bagiku, dan bagi keturunanku”

“Apalagi yang telah terjadi Pangeran?” bertanya Ki Ajar Cinde Kuning.

“Aku mengucapkan terima kasih atas segala pertolongan yang telah Ki Ajar berikan kepada anak dan isteriku” berkata Pangeran Sena Wasesa, “Dan agaknya pada saat-saat terakhir aku telah mendapat terang di hatiku, bahwa aku harus memperbaiki satu sikap yang akan mencelakakan diriku sendiri dan keturunanku”

Kata-kata dan sikap Pangeran Sena Wasesa itu telah membingungkan orang-orang yang berada di sekitarnya. Mereka melihat sikap yang seolah-olah tidak wajar pada Pangeran Sena Wasesa. Ia menyesali sesuatu yang dikatakannya dapat merusak dirinya dan keturunannya. Tetapi dalam pada itu, pada wajahnya yang cerah terpancar satu perasaan yang lain. Seolah-olah Pangeran itu justru telah menemukan sesuatu yang berharga bagi hidupnya dan keturunannya kelak.

Sementara itu Pangeran Sena Wasesa pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Aku akan mengulangi keteranganku tentang pusaka dan harta benda yang terdapat bersama pusaka itu”

Rahu mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya Pangeran Sena Wasesa yang justru menatap wajah Rahu yang menegang.

“Tetapi agaknya tidak akan banyak gunanya” berkata Pangeran Sena Wasesa kemudian.

Orang-orang yang berada disekitarnya menjadi heran. Mereka menjadi semakin tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Pangeran Sena Wasesa itu.

Dalam pada itu Pangeran Sena Wasesa pun meneruskan, “Aku yakin bahwa diantara kita terdapat orang-orang yang dikirim langsung atau tidak langsung oleh Demak. Aku sadar, bahwa pada saat aku berada dalam kesulitan, meskipun aku sempat mengelabui Yang Mulia dengan berpura-pura tetap sakit, namun seorang diantara pengikut Yang Mulia itu berbisik di telingaku, “Aku akan membantu Pangeran”

Rahu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa yang dimaksud oleh Pangeran Sena Wasesa adalah dirinya.

Dalam pada itu Pangeran itu berkata, “Karena itu Ki Ajar dan Ki Sanak semuanya yang ada di ruang ini, tidak ada gunanya aku berbohong. Satu atau dua orang diantara kalian tentu akan menghadap para pemimpin di Demak dan bertanya tentang kebenaran kata-kataku”

Rahu bergeser sejengkal. Seakan-akan Pangeran Sena Wasesa itu dapat melihat tembus kedalam jantungnya. Meskipun tidak dikatakannya kepada siapapun juga. namun sudah pasti, bahwa ia akan berbuat demikian. Ia tentu akan bertanya kepada para penanggung jawab gedung perbendaharaan, apakah sebuah pusaka yang dilepaskan oleh Sang Maha Prabu di Majapahit kepada seorang Pangeran yang menjadi Senopati Agung pada waktu itu telah kembali ke gedung perbendaharaan yang telah dipindahkan ke Demak.

Dalam ketegangan itu, terdengar Pangeran Sena Wasesa berkata, “Karena itu Ki Sanak. Setelah aku menimbang-nimbang, justru setelah aku bertemu dengan anak dan isteriku yang telah membuka cacat jiwani yang telah aku sandang sejak mudaku, maka aku telah mencoba untuk memberanikan diri mengambil sikap yang berbeda”

Jlitheng memang agak kurang sabar. Tetapi ia harus menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Pangeran Sena Wasesa. Sementara Daruwerdi sendiri menjadi tegang. Anak muda itu sadar, bahwa ibunya tentu sudah mengetahui apa yang akan dikatakan oleh ayahnya, menilik wajah ibunya yang tidak banyak terpengaruh oleh kata-kata Pangeran Sena Wasesa itu.

Dalam pada itu, maka akhirnya Pangeran Sena Wasesa pun sampai kepada pokok persoalan yang akan dikatakannya. Ternyata bahwa betapapun ia telah mengambil sikap yang bulat, namun di saat-saat ia mengucapkan kata-katanya, wajahnya yang cerah itu telah berpengaruh juga, sehingga pada dahi Pangeran itu nampak kerut-kerut kebimbangan betapapun tipisnya.

“Ki Sanak” berkata Pangeran Sena Wasesa, “Aku tidak boleh ingkar lagi. Mungkin untuk satu saat yang pendek aku dapat mengelabui Ki Sanak semuanya. Aku memang mengatakan bahwa pusaka dan harta benda itu telah kembali ke tangan yang berhak di Demak. Dan agaknya keterangan itu akan memperoleh kepercayaan” Pangeran itu berhenti sejenak, Lalu, “Tetapi tentu hanya untuk sementara”

“Apa yang sebenarnya terjadi Pangeran” potong Jlitheng yang tidak sabar.

Namun dalam pada itu, agaknya Ki Ajar Cinde Kuning telah dapat menebak, apa yang akan dikatakan oleh Pangeran Sena Wasesa. Karena itu sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Silahkan menjelaskan Pangeran”

Pangeran Sena Wasesa memandang orang tua itu sekilas. Ketika kemudian ia memandang Kiai Kanthi, maka Kiai Kanthi itu pun berkata, “Pangeran telah menempuh satu sikap yang paling bijaksana”

Pangeran Sana Wasesa mengangguk. Kedua orang tua itu tentu sudah dapat mengetahui dengan tepat isi hatinya. Dan agaknya keduanya telah menanggapi sikapnya dengan baik.

Karena itu, maka katanya, “Ki Sanak. Terutama mereka yang mendapat tugas dari Demak, langsung atau tidak langsung. Aku akan mencabut keteranganku yang terdahulu. Aku belum menyerahkan pusaka dan harta benda itu ke Demak”

“Pangeran” potong Daruwerdi.

Namun Ki Ajar Cinde Kuning menyahut dengan cepat, “Lupakan segala pesan Ki Ajar Pamotan Galih yang kau anggap, sebagai diriku sendiri. Kau telah diracuni dengan sikap ketamakannya. Kau tidak perlu lagi berharap apapun juga tentang pusaka dan harta benda itu. Pusaka dan harta benda yang membuat hampir semua orang menjadi kehilangan kesadaran”

“Termasuk aku sendiri” sahut Pangeran Sena Wasesa. Daruwerdi menarik nafas dalam-dalam. Untuk waktu yang lama ia mengamati bukit gundul itu. Bahkan ia telah mencoba dan berusaha menemukan jawaban dari teka-teki tentang pusaka itu dengan mengamati retak-retak di bukit gundul itu. Bahkan setiap lekuk dan cuatan. Garis lurus, lengkung dan garis-garis-patah pada retak batu-batu padas. Sementara sambil menunggu siapapun yang dapat menyerahkan orang yang disebut Pangeran Sena Wasesa itu.

Tetapi ternyata bahwa akhir dari segala macam peristiwa itu jauh berbeda dari yang di angan-angankan semula. Apalagi karena sumber dari segalanya justru adalah bukan orang yang sebenarnya. Bahwa Ki Ajar Pamotan Galih yang pernah menyebut dirinya Ajar Macan Kuning bukanlah Ki Ajar Cinde Kuning.

Namun tiba-tiba ia telah dihadapkan pada suatu kenyataan yang lain. Harta benda di samping pusaka itu kini berada pada seorang yang menyebut dirinya ayahnya. Orang yang semula diburunya dan telah pernah dikatakannya sendiri, pembunuh ayahnya.

“Pusaka itu tidak perlu lagi dicari-cari. Tidak perlu lagi memburu seseorang yang mengetahuinya” berkata Daruwerdi di dalam hatinya, “Orang itu justru menyebut dirinya sebagai ayahku”

Namun dalam pada itu, terasa pandangan beberapa orang tertuju kepadanya. Seolah-olah mereka ingin mengetahui, apakah yang akan dilakukannya.

Sebenarnyalah bahwa bisikan yang mengandung racun telah menusuk jantungnya. Ki Ajar Pamotan Galih yang hampir setiap hari membisikkan upaya untuk memiliki pusaka dan harta benda yang tidak ternilai harganya itu ternyata tidak dapat dihapuskan begitu saja dari dada Daruwerdi.

Sementara itu, Rahu dan Jlitheng tidak kalah bingungnya mendengar pengakuan Pangeran Sena Wasesa. Justru karena Itu untuk sesaat keduanya tidak mengucapkan kata-kata apapun juga. Rasa-rasanya mereka dihadapkan pada suatu mimpi yang aneh.

“Tetapi ini adalah satu kenyataan” berkata Jlitheng di dalam hatinya.

Pangeran Sena Wasesa melihat gejolak perasaan pada beberapa orang yang ada di dalam ruangan itu. Dengan senyum di bibirnya ia berkata, “Ki Sanak semuanya. Aku saat ini terasa berbahagia ganda. Aku telah dapat bertemu dengan anak dan isteriku yang telah terpisah untuk waktu yang lama. Kemudian aku telah berhasil mengatasi kekerdilan jiwaku, Ketamakan dan nafsu yang tidak kalah jahatnya dengan orang-orang Sanggar Gading, orang-orang Kendali Putih dan orang-orang Pusparuri. Aku sebenarnya juga ingin memiliki semuanya itu bagi diriku sendiri. Tetapi aku telah dapat melepaskan diri dari padanya, sehingga dengan demikian aku merasa telah terbebas dari benda-benda yang telah mencekam aku sebagaimana telah terjadi pada orang-orang Sanggar Gading, orang-orang Pusparuri”

Rahu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Jadi apakah yang terakhir inilah yang merupakan kebenaran Pangeran?”

“Ya Ki Sanak” jawab Pangeran Sena Wasesa, “Dan aku akan secepatnya menghadap Sultan di Demak. Aku akan mengatakan segalanya dan mengaku bersalah. Aku tidak akan ingkar menerima segala hukuman yang akan di bebankan di pundakku. Namun dengan demikian, aku telah merasa terlepas dari belenggu ketamakan dan nafsu”

“Mudah-mudahan segalanya dapat terjadi dalam waktu secepatnya” berkata Rahu kemudian. Lalu, “Aku akan dengan senang hati membantu Pangeran dalam penyelesaian ini. Aku pun akan merasa berbahagia melibat kebahagiaan Pangeran”

“Baiklah” berkata Pangeran Sena Wasesa, “segalanya akan dapat diatur secepatnya” Lalu katanya kepada Ki Ajar Cinde Kuning, “bagaimana pendapat Ki Ajar?”

Ki Ajar Cinde Kuning mengangguk-angguk. Katanya, “Pangeran sudah menemukan jalan yang benar menurut pendapatku”

“Terima kasih Ki Ajar. Namun sebaiknya aku juga mendengar pendapat Kiai Kanthi” berkata Pangeran Sena Wasesa kemudian, “meskipun aku sudah dapat meraba sebelumnya”

“Apakah artinya aku bagi Pangeran” jawab Kiai Kanthi, “segalanya terserah kepada Pangeran. Jika Pangeran mengambil satu keputusan, aku rasa keputusan itu adalah yang paling bijaksana”

“Ah” desah Pangeran Sena Wasesa, “meskipun Kiai mengaku orang kabur kanginan, yang tinggal di lereng bukit berhutan itu setelah Kiai terusir dari tempat tinggal Kiai yang lama namun sudah pernah aku katakan, aku mengenal sumber ilmu yang Kiai miliki”

“Sumber itu telah meluap dan mengalir jauh dari lajernya Pangeran. Meskipun Pangeran mengenal sumber ilmu itu, namun aku adalah salah sebuah dari helai-helai daun yang berada di ranting yang paling ujung”

Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Apapun yang Kiai katakan, tetapi Kiai adalah orang yang sangat berarti bagiku. Nah, apakah pendapat Kiai dalam hai ini?”

“Pangeran. Jika Pangeran berkenan mendengarkan pendapatku, baiklah. Sudah aku katakan meskipun tidak langsung, bahwa sikap Pangeran ini adalah kebijaksanaan yang paling tinggi yang dapat Pangeran lakukan dalam keadaan ini”

“Terima kasih” sahut Pangeran Sena Wasesa. Dengan lantang ia pun kemudian berkata, “Aku sudah mengambil satu keputusan. Dengan demikian aku sudah terbebas dari himpitan ketamakan yang selama ini menyiksa diriku. Aku harus berusaha bersembunyi dari pengamatan para petugas di Demak. Namun agaknya Yang Maha Kuasa telah memberi aku peringatan. Meskipun Demak masih tetap berdiam diri, tetapi justru orang-orang yang memburu pusaka dan harta benda itulah yang telah menentukan jalan hidupku yang tersisa, karena sebenarnyalah bahwa aku sudah terlalu tua untuk bercita-cita, kecuali cita-cita bagi anak-anakku”

“Aku menghormati keputusan Pangeran” berkata Rahu, “Dan aku yakin bahwa seluruh Demak akan menghormati sikap Pangeran”

Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada ibu Daruwerdi, “Kau telah menolong aku menentukan sikap kali ini. Aku berterima kasih kepadamu. Tanpa kekuatan yang kau berikan pada saat yang gawat ini. aku tidak akan berani mengambil keputusan itu”

Endang Srini tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam.

Sementara itu, rasa-rasanya segalanya telah terbuka. Rahasia yang meliputi bukit gundul itu telah terbuka pula. Jlitheng yang untuk waktu yang lama mengamati bukit itu, menganggap bahwa penyelesaian yang ditemuinya adalah yang terbaik menurut perhitungannya.

Namun dalam pada itu, masih ada yang terasa mengganggu perasaannya. Ternyata hubungan Daruwerdi dengan gadis bukit berhutan itu membuatnya berdebar-debar.

Namun sudah barang tentu Jlitheng tidak dapat banyak berbuat. Segala sesuatunya juga tergantung kepada sikap Swasti sendiri. Dan Jlitheng merasa bahwa gadis itu agaknya tidak begitu senang kepadanya.

“Jika sejak semula aku tidak bersikap sebagai anak Lumban yang kusut dan kotor. Meskipun aku sudah mengatakan siapakah aku sebenarnya kepada Kiai Kanthi namun menilik ujud kewadagan, maka aku adalah tidak lebih dari anak-anak muda Lumban yang lain, sementara Daruwerdi memang menempatkan dirinya sebagai orang lain yang mempunyai kelebihan dari anak-anak muda Lumban dalam hal ujud lahiriah” berkata Jlitheng dalam hatinya.

Sementara itu, maka orang-orang yang berada di Lumban itu telah mengambil satu keputusan untuk menyelesaikan persoalan pusaka dan harta benda itu melalui jalur yang seharusnya.

Rahu telah mengambil beberapa macam kesimpulan dan kemudian membicarakan rencana penyerahan pusaka itu langsung ke Demak. Meskipun mula-mula mereka akan menghadap tanpa membawa pusaka dan harta benda itu lebih dahulu. Baru kemudian bersama-sama orang-orang yang akan ditugaskan oleh Sultan Demak, mereka akan mengambil pusaka dan harta benda itu dari tempat penyimpanan dengan pengawalan yang cukup

“Aku baru akan mengatakan kemudian, langsung kepada Sultan, dimana pusaka dan harta benda itu tersimpan” berkata Pangeran Sena Wasesa.

“Silahkan” jawab Rahu, “Aku mengerti bahwa Pangeran ingin bersikap hati-hati. Dan aku tidak merasa tersinggung karenanya, meskipun aku adalah satu diantara para petugas yang telah dilepas oleh Demak”

Pangeran Sena Wasesa menarik nafas dalam-dalam. Lalu Katanya, “Sebaiknya segalanya kita lakukan secepatnya. Kita akan segera terlepas dari masalah yang telah mengundang benturan diantara sesama. Aku menyadari, betapa pahitnya benturan-benturan yang terjadi karena ketamakan dan nafsu, setelah aku menyaksikan sendiri apa yang terjadi. Benturan antara orang-orang Sanggar Gading dan orang-orang Kendali Putih. Kemudian orang-orang Pusparuri yang memasuki arena. Bahkan Ki Ajar Cinde Kuning sendiri telah mengalami nasib yang sangat buruk. Bukan saja karena keadaan dirinya sendiri, tetapi malapetaka yang telah menimpa saudara kembarnya. Jika aku tidak melakukan kesalahan, dan mengembalikan pusaka dan harta benda itu jauh sebelum segala peristiwa itu terjadi, maka mungkin sekali segalanya akan terhindar”

“Suatu pengalaman bagi Pangeran” berkata Ki Ajar Cinde Kuning, “Tetapi juga bagi putera Pangeran dan anak-anak muda yang lain. Meskipun pengalaman itu harus ditebus dengan sangat mahal” Ki Ajar itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi baiklah. Segalanya harus diselesaikan dengan cepat. Sebab kemungkinan-kemungkinan yang lain masih akan dapat terjadi. Tetapi jika sudah diumumkan oleh Demak, bahwa pusaka dan harta benda itu telah kembali ke gedung perbendaharaan. Maka segalanya akan dapat dibatasi”

Pangeran Sena Wasesa mengangguk. Oleh ingatannya tentang korban yang telah jatuh dalam memperebutkan pusaka dan harta benda itu, maka wajahnya telah menjadi buram. Hampir diluar sadarnya ia berkata, “Semua itu adalah karena kesalahanku Aku memang pantas untuk mendapat hukuman dari Sultan di Demak. Untunglah bahwa pada suatu saat aku menemukan satu keputusan yang akan dapat menghentikan keadaan ini”

Demikianlah, maka orang-orang yang sedang berkumpul itu telah membicarakan kemungkinan untuk menyelesaikan persoalan yang untuk waktu yang lama telah menimbulkan benturan-benturan yang menelan korban. Namun mereka pun bersepakat, bahwa kepergian Pangeran Sena Wasesa ke Demak harus mendapat kawan-kawan seperjalanan yang kuat, yang akan dapat membantunya menyelamatkan diri apabila di perjalanan ia harus bertahan dari orang-orang yang ingin menangkapnya dan memeras keterangannya. Meskipun orang-orang Sanggar Gading, Kendali Putih dan Pusparuri seakan-akan telah hancur sama sekali, namun kemungkinan yang lain masih mungkin terjadi. Sisa-sisa diantara mereka akan dapat menghubungi orang-orang dari kelompok yang lain untuk mengambil satu tindakan yang berbahaya.

“Ada cara lain yang barangkali dapat ditempuh Pangeran” berkata Rahu.

“Bagaimana?” bertanya Pangeran Sena Wasesa.

“Biarlah seorang atau dua orang diantara kita pergi ke Demak. Melaporkan apa yang telah terjadi. Sepasukan dari Demak akan datang dan kita tidak perlu cemas lagi terhadap kelompok yang manapun juga” jawab Rahu.

“Apakah hal itu tidak akan terlalu lama?” bertanya Pangeran Sena Wasesa.

“Pasukan Demak itu akan datang tiga atau ampat hari mendatang” jawab Rahu, “Sudah barang tentu dengan seorang Senapati yang dapat dipercaya”

Nampak wajah Pangeran Sena Wasesa membayangkan keraguan. Karena itu maka Rahu pun berkata, “Baiklah. Jika Pangeran tetap ragu-ragu, kita mengambil jalan pertama. Memang mungkin sekali yang datang sebagai prajurit Demak itu bukan prajurit Demak yang sebenarnya, karena Pangeran juga belum dapat meyakini, siapakah aku yang sebenarnya. Karena itu, kita akan melakukan sebagaimana kita rencanakan semula”

Merekapun telah memutuskan, esok harinya mereka akan berkemas. Sehari kemudian mereka akan pergi ke Demak. Semua orang yang dianggap akan dapat membantu kesulitan di perjalanan akan ikut serta.

Keputusan itulah yang akan mereka lakukan bersama. Sementara itu mereka masih mendapat kesempatan untuk berbicara dengan orang-orang Lumban. Mereka masih sempat mengucapkan terima kasih dan barangkali pesan-pesan yang perlu bagi mereka.

Demikianlah di hari berikutnya, orang-orang yang berada di Lumban itu pun telah mempersiapkan diri. Ternyata bahwa Pangeran Sena Wasesa dan Ki Ajar Cinde Kuning telah minta pula agar Kiai Kanthi ikut pula pergi ke Demak bersama dengan mereka.

Kiai Kanthi tidak dapat menolak. Namun karena satu-satunya keluarganya adalah anak gadisnya, maka ia pun minta agar anak gadisnya dapat dibawa pula.

“Apa salahnya” berkata Pangeran Sena Wasesa, “Aku juga akan membawa Endang Srini. Aku ingin memperkenalkannya dengan anak gadisku. Mudah-mudahan anakku dapat menerimanya sebagai ibunya”

Kiai Kanthi mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah Pangeran. Nampaknya isteri Pangeran itu rapat pula hubungannya dengan anakku. Mudah-mudahan mereka dapat menjadi kawan yang baik diperjalanan”

Sementara itu, selagi orang-orang yang berada di Lumban itu bersiap, maka diam-diam Jlitheng telah meninggalkan padukuhan untuk mengambil simpanannya. Pakaiannya dan kelengkapannya yang lain, sehingga ia akan dapat mengenakannya.

“Dalam pandangan Swasti, aku tidak akan nampak lebih kotor, lebih kusut dan lebih buruk dari Daruwerdi” berkata Jlitheng di dalam hatinya.

Namun demikian, Jlitheng tidak melupakan biyungnya. Karena itu sekali lagi ia minta diri untuk pergi ke Demak satu tugas yang harus dilakukannya sebagai akibat dari tugas yang diletakkannya sendiri di atas pundaknya.

“Pergilah ngger” berkata ibunya yang sudah tua, “seperti pernah aku katakan. Aku tahu, bahwa pada suatu saat kau memang harus meninggalkan gubug ini”

“Tetapi pada suatu saat yang lain, aku akan kembali lagi biyung. Aku tetap anak Lumban. Dan aku memang benar-benar ingin tinggal di Lumban” jawab Jlitheng.

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat mata perempuan tua itu menjadi basah. Namun Jlitheng yang kemudian mencium tangan perempuan tua itu berkata, “Tidak ada tempat yang lebih baik bagiku dari pada tempat ini.”

Ibunya mencoba untuk tersenyum. Sambil menepuk pundak anak muda itu ia berkata, “Bagiku, jika kau masih teringat padaku, itu sudah cukup anak muda”

“Aku masih tetap Jlitheng. Anakmu” sahut Jlitheng. Perempuan itu masih tersenyum. Dan Jlitheng tiba-tiba saja telah membayangkan, bahwa hidup baginya tidak lagi terlalu menarik. Ternyata bahwa ia telah merasa kehilangan sebelum ia merasa memilikinya. Karena itu, ia memang tidak tertarik untuk tinggal di Demak seandainya harta benda yang bersama dengan pusaka yang disimpan itu telah berada di Demak. Demak akan terasa sepi. Gadis yang bernama Swasti itu tentu akan berada di Demak, bersama seorang anak muda yang memiliki kelebihan dalam ujud lahiriah dari padanya. Yang selama berada di Lumban menyebut dirinya bernama Daruwerdi.

“Kenapa aku telah memilih ujud yang terlalu buruk ini?” desis Jlitheng di dalam hatinya.

Tetapi semuanya sudah terlanjur. Bahkan seandainya ia tidak memilih ujud sebagaimana kebanyakan anak Lumban. mungkin ia tidak akan melihat akhir dari persoalan pusaka itu.

Karena itu, maka akhirnya Jlitheng harus menerima keadaan yang dihadapinya itu sebagai satu kenyataan. Swasti ternyata lebih tertarik kepada Daruwerdi daripada kepada dirinya. Apalagi gadis itu seolah-olah telah menemukan seorang ibu yang sangat mengasihinya. Endang Srini yang kebetulan adalah ibu Daruwerdi.

 

Bersambung ke jilid 21

 

Sumber DJVU http://gagakseta.wordpress.com/

Ebook oleh : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ atau http://dewikz.byethost22.com/

 

Diedit, disesuaikan dengan buku aslinya untuk kepentingan blog https://serialshmintardja.wordpress.com

oleh Ki Arema

kembali | lanjut

Tinggalkan komentar